Hukum.umsida.ac.id – Dalam dunia asuransi, perlindungan preventif dan represif bagi pemegang polis menjadi isu krusial yang terus diperdebatkan.
Konsep asuransi mutual, yang berbasis pada kepemilikan bersama oleh pemegang polis, seharusnya memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi anggotanya.
Namun, dalam praktiknya, berbagai tantangan masih menghambat implementasi perlindungan tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Moh. Faizin menyoroti efektivitas dualitas perlindungan hukum dalam sektor asuransi di Indonesia, serta sejauh mana kedua mekanisme ini mampu menjamin hak-hak pemegang polis.
Baca juga: Strategi Mitigasi Risiko Kredit dalam Menekan Non-Performing Loan (NPL) di Perbankan Indonesia
Efektivitas Regulasi dalam Perlindungan Preventif
Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya permasalahan dalam industri asuransi sebelum merugikan pemegang polis.

Bentuk perlindungan ini meliputi regulasi yang mengatur tata kelola perusahaan asuransi, perjanjian kontrak, hingga kebijakan keuangan seperti restrukturisasi perusahaan saat mengalami kesulitan keuangan.
Salah satu regulasi utama yang berperan dalam perlindungan preventif adalah UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK).
Undang-undang ini mengatur standar solvabilitas, transparansi keuangan, serta mekanisme pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Selain itu, perusahaan asuransi diwajibkan untuk memiliki cadangan dana yang cukup guna mengantisipasi kemungkinan gagal bayar klaim.
Namun, efektivitas perlindungan preventif ini masih dipertanyakan. Kasus seperti Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 menunjukkan bahwa meskipun telah ada regulasi yang mengatur tata kelola perusahaan, krisis keuangan tetap terjadi akibat mismanajemen.
Kelemahan dalam implementasi regulasi serta minimnya pengawasan yang ketat menyebabkan perlindungan preventif tidak selalu dapat mencegah terjadinya krisis.
Lihat juga: Penguatan Hukum Acara dalam Persiapan Praktik Peradilan Semu
Mekanisme Gugatan Kebangkrutan sebagai Perlindungan Represif
Ketika perlindungan preventif gagal mencegah krisis, perlindungan represif menjadi solusi yang diandalkan.
Perlindungan represif mencakup berbagai tindakan hukum yang dapat diambil oleh pemegang polis atau regulator untuk memastikan bahwa hak-hak mereka tetap terlindungi.
Salah satu bentuk perlindungan represif yang umum dilakukan adalah gugatan kebangkrutan terhadap perusahaan asuransi yang gagal memenuhi kewajibannya.
Dalam sistem hukum Indonesia, pemegang polis dapat mengajukan gugatan melalui jalur hukum apabila perusahaan asuransi tidak mampu membayar klaimnya.
OJK juga memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan kebangkrutan terhadap perusahaan asuransi yang mengalami insolvensi.
Mekanisme ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang polis dan memastikan bahwa aset perusahaan digunakan secara adil untuk membayar kewajiban kepada nasabahnya.
Namun, dalam kasus AJB Bumiputera 1912, upaya represif ini menghadapi berbagai hambatan. Struktur kepemilikan mutual menyebabkan pemegang polis berada dalam posisi sulit karena secara teknis mereka juga merupakan pemilik perusahaan.
Ini menimbulkan dilema hukum, di mana pemegang polis yang ingin menuntut haknya juga secara tidak langsung menggugat perusahaan yang mereka miliki sendiri.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem perlindungan represif masih memiliki celah yang perlu diperbaiki agar lebih efektif dalam memberikan kepastian hukum bagi pemegang polis.
Membangun Sistem Perlindungan Hukum yang Lebih Kuat
Agar perlindungan hukum bagi pemegang polis dapat berjalan lebih efektif, diperlukan reformasi dalam tata kelola perusahaan asuransi, baik dari sisi regulasi preventif maupun mekanisme represif.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memperkuat peran OJK dalam melakukan pengawasan terhadap perusahaan asuransi mutual.
OJK perlu memastikan bahwa perusahaan asuransi memiliki struktur manajemen yang lebih profesional dan sistem tata kelola yang transparan.
Selain itu, perlu ada mekanisme hukum yang lebih jelas bagi pemegang polis dalam kasus kebangkrutan perusahaan asuransi mutual.
Salah satu solusinya adalah pembentukan lembaga independen yang bertanggung jawab untuk melindungi hak pemegang polis dalam situasi krisis.
Lembaga ini dapat berfungsi sebagai mediator antara perusahaan asuransi dan pemegang polis, serta memberikan solusi hukum yang lebih adil dan transparan.
Dengan adanya keseimbangan antara perlindungan preventif yang kuat dan perlindungan represif yang efektif, diharapkan sistem asuransi di Indonesia dapat berkembang lebih sehat dan memberikan jaminan hukum yang lebih baik bagi pemegang polis.
Reformasi di sektor ini menjadi langkah penting dalam menciptakan industri asuransi yang lebih stabil dan terpercaya.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah