Hukum.umsida.ac.id – Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi masalah serius di Indonesia. Salah satu kasus yang disorot oleh dosen hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Emy Rosnawati, adalah putusan Hakim No. 180/Pid.Sus/2020/PN Sda. Dalam penelitiannya, Emy menyoroti adanya potensi ketidakadilan dalam putusan terkait kasus KDRT di Kabupaten Sidoarjo, meskipun vonis hakim sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Kasus ini melibatkan terdakwa yang terbukti melakukan kekerasan fisik secara berulang kepada korban. Berdasarkan Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun.
Meskipun hukuman tersebut telah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, Emy Rosnawati dalam penelitiannya menunjukkan bahwa hukuman tersebut dirasa kurang memberikan keadilan bagi korban.
Menurut Emy, Pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 menyebutkan bahwa hukuman maksimal untuk pelaku KDRT adalah lima tahun penjara dan denda sebesar Rp15.000.000.
Namun, dalam kasus ini, terdakwa hanya dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, meskipun tindakan kekerasan fisik yang dilakukan sudah berulang kali. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana hakim menimbang beratnya pelanggaran dalam memutuskan hukuman.
Hakim yang mengadili kasus ini telah menjatuhkan hukuman yang sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Emy menyebutkan bahwa vonis tersebut sesuai dengan sistem peradilan Indonesia dan Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2004.
Pasal 44 ayat (1) memang mengatur tentang hukuman bagi pelaku kekerasan fisik dalam rumah tangga, dan vonis tiga tahun tersebut sudah berada dalam batasan yang ditentukan.
Namun, yang menjadi sorotan dalam penelitian ini adalah fakta bahwa terdakwa telah melakukan kekerasan fisik berulang kali kepada korban.
Emy mengungkapkan bahwa dalam konteks seperti ini, putusan hakim seharusnya lebih tegas dengan memberikan hukuman maksimal yang diatur dalam undang-undang, yaitu lima tahun penjara, untuk memberikan keadilan yang lebih seimbang bagi korban.
Mengapa Hakim Tidak Menjatuhkan Hukuman Maksimal?
Menurut Emy Rosnawati, salah satu faktor yang mungkin menyebabkan hakim tidak memberikan hukuman maksimal adalah penerapan sistem penjatuhan hukuman di Indonesia yang dikenal dengan sistem absorbs dan sistem kumulasi terbatas.
Sistem ini membatasi penjatuhan hukuman maksimal pada kasus-kasus tertentu, meskipun tindak pidana tersebut dilakukan berulang kali. Namun, Emy menilai bahwa dalam kasus ini, penjatuhan hukuman maksimal sangat penting untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah terulangnya kekerasan dalam rumah tangga.
Keputusan untuk tidak menjatuhkan hukuman maksimal bagi terdakwa berpotensi memperburuk kondisi korban, baik secara psikologis maupun sosial.
Korban kekerasan dalam rumah tangga sering kali merasa tidak mendapatkan perlindungan yang cukup dari hukum. Ketidakadilan ini, menurut Emy, dapat memperkuat persepsi bahwa kasus KDRT masih dianggap sebagai isu domestik yang tidak terlalu serius oleh sebagian masyarakat dan bahkan oleh sistem peradilan itu sendiri.
Dalam konteks Kabupaten Sidoarjo, Emy menekankan pentingnya peran masyarakat untuk lebih aktif membantu korban KDRT. Masyarakat tidak boleh menganggap masalah kekerasan dalam rumah tangga sebagai hal sepele yang terjadi di dalam keluarga saja.
Penting bagi komunitas lokal untuk menawarkan bantuan sosial kepada korban dan memastikan mereka mendapatkan perlindungan yang layak.
Emy Rosnawati menekankan bahwa hakim harus lebih tegas dalam menegakkan keadilan, terutama dalam kasus-kasus KDRT. Hukuman maksimal yang diatur dalam undang-undang harus diterapkan untuk memberikan efek jera kepada pelaku. Dengan demikian, diharapkan kekerasan dalam rumah tangga dapat diminimalisir di masa mendatang.
Selain itu, Emy mendorong masyarakat agar lebih proaktif dalam membantu korban KDRT. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya melaporkan tindak kekerasan, serta memberikan dukungan moral dan material kepada korban.
Langkah ini, menurutnya, akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga.
Putusan Hakim No. 180/Pid.Sus/2020/PN Sda terhadap kasus KDRT di Sidoarjo menimbulkan pertanyaan tentang keadilan bagi korban.
Meskipun vonis tiga tahun penjara bagi terdakwa sudah sesuai dengan undang-undang, penelitian Emy Rosnawati menunjukkan bahwa hakim seharusnya menjatuhkan hukuman yang lebih berat untuk menciptakan efek jera.
Selain itu, masyarakat juga diharapkan lebih peduli terhadap isu KDRT, sehingga korban dapat mendapatkan perlindungan yang layak.
Sumber: Emy Rosnawati
Penulis: Indah Nurul Ainiyah