Hukum.umisda.ac.id – Peraturan Pemerintah turunan dari Undang-Undang UU Cipta Kerja kembali menuai sorotan tajam setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU tersebut inkonstitusional dengan syarat pada akhir tahun 2021.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Noor Fatimah Mediawati, dosen hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), terungkap sejumlah kekhawatiran terhadap penerapan undang-undang tersebut, terutama terkait hak-hak pekerja yang dianggap terpinggirkan.
Dalam analisisnya yang berjudul “Analisis Keberlakuan Peraturan Pemerintah Turunan Undang-Undang Cipta Kerja Pasca Putusan Inkonstitusional Bersyarat”, Noor Fatimah menyoroti berbagai kontradiksi dan perbedaan pendapat yang muncul sejak UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 disahkan.
Menurutnya, proses penyusunan undang-undang tersebut dinilai terburu-buru dan tidak melibatkan partisipasi yang memadai dari masyarakat. Hal ini memperkuat persepsi bahwa tidak ada keterbukaan dan ruang diskusi dengan para pemangku kepentingan luas, yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam pembuatan kebijakan publik.
Baca juga: Penelitian Dosen Hukum Umsida: Transaksi Benda Virtual dan RMT Ilegal di Indonesia
Putusan Inkonstitusional Bersyarat Terkait UU Cipta Kerja
Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, dalam putusannya menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil. Proses pembuatan undang-undang ini dinilai tidak mengikuti tata cara yang diatur dalam perundang-undangan.
Hal ini berujung pada putusan yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional dengan syarat, artinya undang-undang tersebut masih bisa berlaku dalam batas waktu tertentu asalkan dilakukan perbaikan dalam proses pembuatannya.
Namun, alih-alih melakukan perbaikan mendasar, pemerintah justru mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi UU No. 6 Tahun 2023.
Langkah ini memicu kritik karena dianggap mengabaikan substansi putusan MK yang menekankan pentingnya keterlibatan publik dan transparansi dalam pembentukan regulasi.
Lihat juga: Google AdWords dan Tanggung Jawab Hukum terhadap Iklan Phishing
Kekhawatiran Terhadap Hak-Hak Pekerja
Salah satu fokus utama penelitian Noor Fatimah adalah dampak UU Cipta Kerja pada hak-hak pekerja. Menurutnya, perubahan yang diusung dalam klaster ketenagakerjaan tidak sepenuhnya memberikan perlindungan yang lebih baik bagi pekerja. Sebaliknya, perubahan tersebut justru mengarah pada pengurangan hak-hak normatif pekerja dan buruh.
Perubahan yang dilakukan dalam Perpu No. 2 Tahun 2022 tidak memberikan perlindungan maksimal bagi pekerja, bahkan beberapa poin memperlemah posisi. Dalam konteks negara hukum yang demokratis, seharusnya hak-hak pekerja mendapatkan perlindungan yang kuat, terutama dalam peraturan ketenagakerjaan.
Noor Fatimah juga menyoroti bagaimana daya tawar pekerja sering kali lebih lemah dibandingkan pemberi kerja. Hal ini, menurutnya, tidak sejalan dengan teori negara hukum yang seharusnya mampu memberikan perlindungan kepada kelompok-kelompok yang rentan, termasuk pekerja.
Hak-hak asasi manusia, hukum perburuhan, dan formasi politik harusnya berfungsi untuk memastikan adanya keadilan bagi seluruh pihak, terutama mereka yang berada di posisi yang lebih lemah secara struktural.
Reaksi Publik dan Pakar Hukum
Tidak hanya di kalangan akademisi, UU Cipta Kerja juga menuai reaksi keras dari serikat pekerja dan kelompok masyarakat sipil. Banyak yang menganggap undang-undang ini hanya menguntungkan korporasi besar dan melemahkan hak-hak buruh. Beberapa serikat pekerja bahkan menggelar aksi demonstrasi menuntut pencabutan UU Cipta Kerja dan pengesahan regulasi yang lebih berpihak pada kesejahteraan pekerja.
Sejumlah pakar hukum juga mengkritik keputusan pemerintah yang terkesan mengabaikan putusan MK. Menurut mereka, pengesahan UU No. 6 Tahun 2023 adalah upaya untuk mempercepat implementasi omnibus law tanpa menyelesaikan masalah formil yang telah diputuskan oleh MK.
Ini mencerminkan bahwa pemerintah dan DPR belum sepenuhnya memahami makna inkonstitusional bersyarat. Seharusnya, revisi menyeluruh dan melibatkan banyak pihak dilakukan, bukan sekadar mengesahkan Perpu menjadi UU.
Melalui penelitian ini, Noor Fatimah berharap ada perubahan mendasar dalam pembuatan kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia. Keterlibatan publik, transparansi, dan perlindungan terhadap hak-hak pekerja harus menjadi prioritas dalam setiap regulasi yang disusun.
“Saya berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi diskusi yang lebih luas mengenai pentingnya perlindungan hak pekerja di Indonesia. Hak-hak tersebut tidak boleh diabaikan demi kepentingan ekonomi semata,” tegasnya.
Sebagai penutup, ia mengingatkan bahwa dalam sebuah negara hukum, keadilan dan perlindungan terhadap seluruh warga negara, termasuk pekerja, harus diutamakan. Dengan adanya kajian-kajian kritis seperti yang dilakukan oleh akademisi, diharapkan pemerintah dapat lebih bijak dalam menyusun dan mengimplementasikan regulasi yang adil dan berpihak pada masyarakat.
Sumber: Noor Fatimah Mediawati
Penulis: Indah Nurul Ainiyah