hukum.umsida.ac.id. – Dalam kehidupan sosial masyarakat modern, relasi pacaran menjadi fenomena yang lazim dijumpai, khususnya di kalangan remaja dan mahasiswa.
Namun, seiring berkembangnya teknologi digital dan media sosial, relasi personal tersebut kerap diwarnai oleh persoalan batasan privasi.
Tidak sedikit yang beranggapan bahwa status pacaran memberikan legitimasi untuk mengetahui, mengakses, bahkan mengontrol kehidupan pribadi pasangan secara penuh.
Pandangan tersebut perlu dikritisi secara serius, khususnya dari perspektif hukum. Pacaran merupakan hubungan personal yang bersifat sosial dan emosional, bukan hubungan hukum yang menimbulkan hak kepemilikan atas individu lain.
Oleh karena itu, status pacaran tidak serta-merta menghapus atau mengurangi hak privasi seseorang sebagai subjek hukum.
Pacaran Bukan Relasi Kepemilikan
Dalam praktiknya, relasi pacaran sering kali bergeser dari hubungan yang setara menjadi relasi kuasa. Salah satu pihak merasa memiliki legitimasi untuk mengatur pergaulan, aktivitas, hingga ruang personal pasangannya.
Tindakan seperti memeriksa ponsel tanpa izin, meminta kata sandi media sosial, menuntut laporan aktivitas secara terus-menerus, bahkan membatasi interaksi sosial pasangan, kerap dianggap sebagai bentuk perhatian.
Padahal, dari sudut pandang hukum dan hak asasi manusia, perilaku tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak individu.
Psikolog klinis Ratna Sarwono menyebutkan bahwa kontrol berlebihan dalam hubungan personal merupakan indikasi relasi tidak sehat.
“Relasi yang sehat dibangun atas dasar kesetaraan dan saling menghormati, bukan dominasi. Ketika kontrol dijadikan simbol cinta, di situlah potensi kekerasan emosional mulai muncul,” jelasnya.
Baca juga: Mahasiswa Hukum UMSIDA Raih Silver Medal di Kejuaraan Taekwondo KBPP Polri Jatim Cup 3
Hak Privasi sebagai Hak Asasi Manusia
Hak privasi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin secara universal. Dalam konteks nasional, jaminan terhadap hak privasi tercantum dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.
Hak ini tidak bersifat kondisional dan tidak dapat dicabut hanya karena adanya hubungan personal, termasuk pacaran.
Setiap individu tetap memiliki otoritas penuh atas informasi pribadinya, baik berupa data digital, komunikasi pribadi, maupun aspek kehidupan personal lainnya.
Lihat juga: Frans Mahasiswa Akuntansi Umsida Sabet Juara 2 Taekwondo KBPP Polri Jatim Cup 3
Perspektif Hukum Positif: Privasi Dilindungi Undang-Undang
Dalam perkembangan hukum positif Indonesia, perlindungan privasi semakin diperkuat dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Undang-undang ini menegaskan bahwa data pribadi hanya dapat diakses dan diproses atas dasar persetujuan subjek data.
Pakar hukum siber Budi Raharjo menegaskan bahwa hubungan personal tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk mengakses data pribadi tanpa izin.
“Pacaran bukan alasan hukum untuk membuka, membaca, atau menyebarluaskan data pribadi seseorang. Tanpa persetujuan, tindakan tersebut berpotensi melanggar hukum,” tegasnya.
Dengan demikian, tindakan memeriksa pesan pribadi, membuka akun media sosial, atau menyimpan data pasangan tanpa izin dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, meskipun dilakukan dalam konteks hubungan asmara.
Media Sosial dan Normalisasi Pelanggaran Privasi
Media sosial turut berperan dalam menormalisasi pelanggaran privasi dalam relasi pacaran. Fitur-fitur seperti status daring, tanda baca pesan, dan pelacakan lokasi sering kali dimanfaatkan sebagai alat kontrol.
Ketika pasangan menuntut penjelasan atas keterlambatan membalas pesan atau mempersoalkan aktivitas daring, relasi personal berubah menjadi ruang pengawasan.
Fenomena ini menunjukkan rendahnya kesadaran hukum di kalangan anak muda terkait hak privasi. Padahal, normalisasi pelanggaran privasi dalam relasi personal dapat berdampak serius, mulai dari tekanan psikologis hingga kekerasan berbasis relasi personal.
Kepercayaan dan Privasi: Dua Hal yang Berbeda
Dalam relasi yang sehat, kepercayaan tidak dibangun melalui akses tanpa batas terhadap kehidupan pasangan. Kepercayaan justru lahir dari rasa aman, komunikasi yang setara, dan penghormatan terhadap batas pribadi.
Komnas Perempuan dalam beberapa laporannya menyebutkan bahwa kontrol berlebihan dalam pacaran merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam pacaran (dating violence), khususnya dalam bentuk kekerasan psikologis. Praktik ini sering kali tidak disadari karena dibungkus dalam narasi cinta dan kepedulian.
Pentingnya Kesadaran Hukum dalam Relasi Personal
Sebagai bagian dari masyarakat akademik, khususnya di lingkungan fakultas dan program studi hukum, pemahaman terhadap hak privasi perlu ditanamkan sejak dini.
Relasi personal tidak berada di luar jangkauan hukum. Sebaliknya, hukum hadir untuk memastikan bahwa setiap individu tetap terlindungi, bahkan dalam ruang privat sekalipun.
Menetapkan batasan dalam pacaran bukanlah bentuk ketidakpercayaan, melainkan wujud kesadaran hukum dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Relasi yang sehat adalah relasi yang memberi ruang bagi kebebasan individu, bukan mengekangnya.
Relasi Sehat Berlandaskan Hukum dan Etika
Pacaran seharusnya menjadi ruang tumbuh bersama, bukan ruang penghilangan hak. Privasi bukan ancaman bagi cinta, melainkan prasyarat bagi hubungan yang setara dan berkeadilan.
Dalam perspektif hukum, menghormati privasi pasangan adalah bagian dari penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Oleh karena itu, penting bagi generasi muda, khususnya mahasiswa hukum, untuk menjadi pelopor dalam membangun relasi personal yang sehat, sadar hukum, dan beretika. Sebab, hukum tidak hanya hidup di ruang pengadilan, tetapi juga dalam relasi sehari-hari.
Penulis: Salwa Rizky Awalya

















