Hukum.umsida.ac.id – Pada era digital saat ini, kegiatan memotret serta mengambil video menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, sebagai bentuk pemanfaatan hak untuk berekspresi.
Kamera di genggaman, media sosial di ujung jari setiap momen, hal tersebut yang terjadi di ruang publik bisa dengan mudah diabadikan dan dibagikan pada media sosial.
Namun, muncul satu pertanyaan penting yaitu apakah memotret orang lain di tempat umum adalah bagian dari kebebasan berekspresi atau justru dapat dianggap sebagai pelanggaran privasi?
Kegiatan memotret atau mengambil gambar di tempat umum kini menjadi sesuatu yang dianggap lumrah.
Banyak sebagian orang mengambil gambar secara spontan tanpa memikirkan apakah orang tersebut setuju atau merasa nyaman.
Masyarakat sering kali tidak menyadari bahwa meskipun berada di ruang publik, seseorang tetap memiliki hak untuk menjaga citra diri serta identitas pribadinya.
Baca juga: MOU antara Umsida dan Pengadilan Agama Sidoarjo: Sinergi dalam Pengembangan Pendidikan Hukum
Kebebasan Berekspresi dan Batasan Hukumnya
Dalam pasal 28E UUD 1945 yang menjelaskan tentang menjamin hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat, termasuk melalui karya visual seperti foto.
Namun, pasal 28G ayat (1) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi dan privasinya.
Hal ini berarti dua hak ini sama-sama dijamin, namun bisa berbenturan dalam praktiknya, terutama saat seseorang memotret orang lain tanpa izin.
Dalam perspektif hukum, tidak ada larangan tegas yang mengatur tentang pelarangan memotret di ruang publik.
Namun, yang menjadi masalah jika foto tersebut disebarluaskan dan tanpa persetujuan orang tersebut.
Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan yang mutlak.
Setiap bentuk ekspresi tetap harus memperhatikan hak orang lain, terutama hak privasi serta perlindungan data diri.
Oleh karena itu, dibutuhkan kesadaran hukum serta etika digital agar kebebasan berekspresi tidak disalahgunakan menjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain.
Lihat juga: Viral Isu ODOL : Sopir Truck Diancam Penjara, Bagaimana Hukum Bertindak?
Hak Individu dalam Ruang Publik
Hukum di Indonesia memang belum mengatur larangan untuk kegiatan memotret di tempat umum, namun ada batasan ketika hasil potret itu digunakan untuk kepentingan publik.
Dalam konteks tersebut, prinsip perlindungan data pribadi dan hak moral seseorang mulai berlaku.
Oleh karena itu, penting bagi siapapun untuk memahami bahwa hak individu tetap berlaku meski ia berada di ruang publik.
Keberadaan seseorang di tempat umum tidak otomatis menghapus hak-hak dasarnya sebagai individu yang berhak atas privasi, martabat, serta perlindungan identitas.
Kita perlu menyadari bahwa ruang publik bukanlah ruang bebas tanpa aturan. Terdapat norma sosial dan etika yang perlu dihormati bersama.
Menyebarkan potret orang tanpa izin, apalagi disertai narasi yang salah atau melecehkan, bisa menjadi bentuk pelanggaran.
Memahami batasan ini bukan hanya soal ketaatan hukum, tetapi juga cerminan empati dan penghargaan terhadap sesama.
Menghargai privasi bukan hanya soal hukum, tapi juga soal membangun ruang digital yang etis serta manusiawi.
Ruang Publik Bukan Berarti Bebas dari Privasi
Hampir sebagian orang beranggapan bahwa jika seseorang berada di tempat umum, seperti taman, jalan raya, atau bahkan kafe maka ia tidak bisa menuntut hak privasi.
Padahal, privasi tidak sepenuhnya hilang hanya karena seseorang berada pada ruang publik.
Di Indonesia, meskipun belum memiliki undang-undang khusus tentang perlindungan data pribadi secara komprehensif tetapi praktik etis serta kesadaran hukum juga perlu dikedepankan.
Kita harus tetap mempertimbangkan persetujuan, kepantasan, serta kemungkinan dampak dari unggahan kita terhadap orang lain.
Meskipun seseorang berada di tempat umum, ia memiliki untuk menolak jika wajahnya disebarluaskan tanpa izin, terlebih lagi foto atau video tersebut memuat ekspresi yang tidak pantas.
Dalam konteks ini, mengambil gambar tanpa izin bisa menimbulkan dampak psikologis, sosial, hingga hukum bagi yang bersangkutan.
Perkembangan media sosial yang begitu cepat sering kali membuat orang merasa bebas membagikan apapun yang dilihatnya, padahal tindakan tersebut bisa masuk pada ranah pelanggaran hak privasi.
Mengedepankan empati serta etika digital menjadi langkah penting agar ruang publik tetap aman dan nyaman, tanpa harus mengorbankan martabat orang lain hanya demi konten.
Penulis: Siti Nur Annisa Rahmaniyah
Penyunting: Indah Nurul Ainiyah