hukum.umsida.ac.id. – Menjadi mahasiswa baru sering dipersepsikan sebagai gerbang menuju kebebasan. Tidak ada lagi seragam sekolah, jam belajar lebih fleksibel, serta ruang berekspresi yang terasa lebih luas.
Kampus kerap dipandang sebagai tempat paling bebas untuk berpendapat, berorganisasi, dan menentukan pilihan hidup. Namun, kebebasan tersebut sering kali dipahami secara keliru sebagai kebebasan tanpa batas.
Padahal, status sebagai mahasiswa tidak hanya membawa hak akademik, tetapi juga melekatkan tanggung jawab hukum, baik di lingkungan kampus maupun di tengah masyarakat.
Sayangnya, aspek hukum ini jarang disampaikan secara sistematis kepada mahasiswa baru. Akibatnya, tidak sedikit mahasiswa yang terjerat masalah akademik, etik, bahkan hukum, karena ketidaktahuan mereka sendiri.
Hak Mahasiswa sebagai Subjek Hukum
Mahasiswa adalah subjek hukum yang memiliki hak-hak yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan dan kebijakan institusi pendidikan.
Hak atas pendidikan yang layak, misalnya, tidak hanya sebatas mengikuti perkuliahan, tetapi juga mencakup penilaian yang objektif, pelayanan akademik yang adil, serta akses terhadap fasilitas penunjang pendidikan.
Selain itu, mahasiswa memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan kritik. Hal ini sejalan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat.
Dalam konteks kampus, hak ini dapat disalurkan melalui forum resmi, organisasi mahasiswa, maupun mekanisme aspirasi yang disediakan institusi.
Pakar hukum tata negara Prof. Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak konstitusional yang tidak boleh dihilangkan, termasuk di lingkungan pendidikan.
“Kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi pertukaran gagasan. Namun kebebasan tersebut tetap harus dijalankan dengan tanggung jawab dan etika,” jelasnya.
Baca juga: Mahasiswa Hukum UMSIDA Raih Silver Medal di Kejuaraan Taekwondo KBPP Polri Jatim Cup 3
Hak atas Rasa Aman dan Perlindungan
Hak lain yang sering diabaikan adalah hak atas rasa aman. Mahasiswa berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik, verbal, perundungan, hingga pelecehan seksual.
Banyak mahasiswa baru tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk melapor dan mendapatkan pendampingan jika mengalami tindakan tidak menyenangkan di lingkungan kampus.
Dalam beberapa tahun terakhir, isu kekerasan seksual di kampus menjadi perhatian nasional. Negara bahkan telah mengatur hal ini melalui Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Regulasi ini menegaskan kewajiban kampus untuk melindungi mahasiswa sebagai warga akademik.
Sayangnya, minimnya literasi hukum membuat banyak korban memilih diam. Padahal, diam justru memperpanjang siklus kekerasan dan ketidakadilan.
Lihat juga: Frans Mahasiswa Akuntansi Umsida Sabet Juara 2 Taekwondo KBPP Polri Jatim Cup 3
Kewajiban Akademik: Bukan Sekadar Formalitas
Di balik hak yang dimiliki, mahasiswa juga dibebani kewajiban yang tidak kalah penting. Mahasiswa wajib menaati peraturan akademik dan tata tertib kampus.
Pelanggaran seperti plagiarisme, pemalsuan data penelitian, atau kecurangan akademik bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi juga dapat berujung pada sanksi administratif hingga konsekuensi hukum.
Status mahasiswa tidak memberikan kekebalan hukum. Kesadaran ini penting agar mahasiswa tidak terjebak dalam pola pikir “asal lulus” tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.
Media Sosial: Ruang Bebas yang Punya Konsekuensi
Di era digital, kehidupan mahasiswa tidak terlepas dari media sosial. Namun, kebebasan berekspresi di ruang digital memiliki batas hukum.
Unggahan yang mengandung ujaran kebencian, fitnah, hoaks, atau penyebaran data pribadi dapat berujung pada persoalan hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kritik terhadap kebijakan kampus memang merupakan hak mahasiswa. Namun, kritik tersebut harus disampaikan secara bertanggung jawab, berbasis data, dan tidak menyerang kehormatan pribadi pihak lain. Kebebasan berekspresi tidak identik dengan kebebasan mencederai hak orang lain.
Mahasiswa perlu memahami bahwa jejak digital bersifat permanen. Apa yang diunggah hari ini dapat berdampak pada masa depan akademik, karier profesional, bahkan reputasi pribadi.
Organisasi Mahasiswa dan Tanggung Jawab Hukum
Aktivitas organisasi mahasiswa sering dipandang sebagai ruang belajar kepemimpinan dan sosial. Namun, di balik itu terdapat risiko hukum yang jarang disadari.
Pengelolaan dana kegiatan, perizinan acara, serta keselamatan peserta merupakan tanggung jawab serius yang tidak bisa dianggap remeh.
Kelalaian dalam pengelolaan keuangan dapat berimplikasi pada dugaan penyalahgunaan dana. Kegiatan tanpa izin atau tanpa standar keamanan dapat menimbulkan tanggung jawab hukum apabila terjadi kerugian atau kecelakaan.
Pakar hukum administrasi Philipus M. Hadjon menekankan pentingnya kesadaran hukum dalam setiap aktivitas kelembagaan.
“Setiap tindakan organisasi, sekecil apa pun, tetap berada dalam koridor hukum. Ketidaktahuan tidak menghapus tanggung jawab,” ungkapnya.
Pentingnya Literasi Hukum Sejak Awal Kuliah
Mahasiswa baru berada pada fase transisi dari dunia sekolah menuju dunia dewasa yang penuh konsekuensi hukum. Oleh karena itu, literasi hukum sejak awal perkuliahan menjadi kebutuhan mendesak.
Pemahaman terhadap hak membuat mahasiswa tidak mudah ditekan, sementara pemahaman terhadap kewajiban mencegah mahasiswa bertindak sembrono.
Kampus, khususnya program studi hukum, memiliki peran strategis dalam menanamkan kesadaran ini. Hukum tidak hanya dipelajari sebagai teori, tetapi juga harus dihidupi dalam praktik keseharian mahasiswa.
Mahasiswa Sadar Hukum, Kampus Lebih Beradab
Memahami hak dan kewajiban bukanlah beban, melainkan bekal. Mahasiswa yang sadar hukum akan tumbuh menjadi pribadi kritis, beretika, dan bertanggung jawab. Kampus pun akan menjadi ruang akademik yang sehat, aman, dan bermartabat.
Pada akhirnya, menjadi mahasiswa bukan hanya soal mengejar IPK atau gelar, tetapi tentang proses pembentukan karakter sebagai warga negara yang taat hukum.
Dengan kesadaran tersebut, kebebasan mahasiswa tidak berubah menjadi masalah, melainkan menjadi kekuatan untuk berkontribusi secara positif bagi masyarakat dan negara.
Penulis: Salwa Rizky Awalya

















