Hukum.umsida.ac.id – Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan putusan penting terkait Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Langkah ini memaksa pemerintah untuk segera menyesuaikan undang-undang tersebut sesuai dengan arahan dari MK.
Di tengah perubahan tersebut, Noor Fatimah Mediawati, dosen Prodi Hukum Umsida melakukan penelitian yang mendalam terkait Analisis Keberlakuan Peraturan Pemerintah Turunan Undang-Undang Cipta Kerja Pasca Putusan Inkonstitusional Bersyarat. Penelitian ini memberikan analisis komprehensif mengenai status dan relevansi berbagai peraturan pemerintah yang lahir dari UU Cipta Kerja di tengah dinamika hukum yang sedang berlangsung.
Baca juga: Transaksi Benda Virtual di Game Mobile Legend: Potensi Pelanggaran Hukum di Indonesia
Prosedur Pembentukan Perpu Pasca Putusan MK
Dalam penelitian ini, Noor Fatimah menyoroti bagaimana pemerintah merespons putusan inkonstitusional bersyarat yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah, sebagai pembuat undang-undang, berupaya mencari solusi cepat untuk tetap menjalankan UU Cipta Kerja dengan memenuhi arahan MK. Salah satu langkah penting adalah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2/2022 tentang Cipta Kerja.
Namun, masalah muncul terkait tata cara pembuatan undang-undang yang dianggap melompati prosedur yang seharusnya diikuti. Dalam UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), tidak ada penjelasan khusus mengenai konsep Omnibus Law yang menjadi dasar dari UU Cipta Kerja. Hal ini menimbulkan kritik bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja kurang mengikuti asas-asas pembentukan peraturan yang baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 12/2011. Asas-asas tersebut mencakup kejelasan tujuan, kesesuaian lembaga pembentuk undang-undang, serta hierarki dan materi yang sesuai.
Lihat juga: Kelas Pasar Modal: Mengembangkan Keahlian Manajerial Keuangan Generasi Muda
Fatimah juga mencatat bahwa keterbukaan akses informasi dan partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang menjadi isu penting. Pasal 22 UUD 1945 menegaskan bahwa setiap undang-undang harus dibuat secara transparan dan memungkinkan partisipasi masyarakat. Sayangnya, dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja, banyak pihak menilai partisipasi publik sangat minim dan akses terhadap naskah akademik undang-undang juga terbatas. Hal inilah yang kemudian memicu berbagai permohonan uji formil dan materiil terhadap UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi.
Analisis Status Peraturan Pemerintah Turunan UU Cipta Kerja
Selain menyoroti proses pembentukan undang-undang, penelitian ini juga membahas keberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi turunan dari UU Cipta Kerja. Hingga saat ini, terdapat empat PP yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjalankan berbagai ketentuan dalam UU Cipta Kerja, khususnya terkait ketenagakerjaan. Keempat PP tersebut adalah:
- PP No. 37/2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP)
- PP No. 36/2021 tentang Upah
- PP No. 35/2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Outsourcing, Waktu Kerja dan Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja
- PP No. 34/2021 tentang Tenaga Kerja Asing (TKA)
Meskipun PP ini sudah mulai diberlakukan, kritik terhadap isi dari UU Cipta Kerja masih terus berlanjut. Banyak elemen masyarakat dan kelompok buruh menolak berbagai muatan dalam undang-undang tersebut, terutama yang terkait dengan hak-hak pekerja dan ketenagakerjaan. Salah satu kritik utama adalah bahwa proses pembentukan PP ini masih dianggap kurang transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik yang memadai.
Noor Fatimah mencatat bahwa meskipun pemerintah telah mengeluarkan PP turunan, penolakan terhadap UU Cipta Kerja di kalangan masyarakat masih tinggi. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran bahwa UU Cipta Kerja lebih menguntungkan pengusaha dan merugikan hak-hak pekerja, terutama terkait dengan ketentuan outsourcing dan upah.
Putusan MK dan Implikasinya
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat menempatkan pemerintah dalam posisi yang sulit. MK menginstruksikan agar UU Cipta Kerja segera diperbaiki dalam jangka waktu tertentu, dan jika tidak diperbaiki, maka UU tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum. Hal ini mengharuskan pemerintah untuk segera melakukan revisi terhadap UU Cipta Kerja dan memastikan bahwa proses pembentukan undang-undang di masa depan lebih terbuka dan partisipatif.
Penelitian Noor Fatimah juga menekankan bahwa meskipun pemerintah telah berupaya memperbaiki UU Cipta Kerja melalui penerbitan Perppu, masih banyak hal yang harus diperhatikan. Pemerintah diharapkan lebih serius dalam melibatkan partisipasi publik, khususnya kelompok pekerja, dalam proses revisi undang-undang ini. Selain itu, transparansi dalam penyusunan naskah akademik dan pemberlakuan PP turunan juga menjadi kunci untuk menciptakan undang-undang yang lebih adil dan akuntabel.
Penelitian ini memberikan gambaran jelas tentang dinamika hukum yang terjadi pasca putusan inkonstitusional bersyarat terhadap UU Cipta Kerja. Keberadaan Perppu No. 2/2022 dan berbagai PP turunan yang telah diterbitkan menandai upaya pemerintah untuk tetap menjalankan UU Cipta Kerja. Namun, tantangan terkait transparansi, partisipasi publik, dan keadilan bagi pekerja masih menjadi isu penting yang harus diperbaiki. Noor Fatimah berharap, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk lebih memperhatikan prinsip-prinsip pembentukan undang-undang yang baik di masa depan.
Sumber: Noor Fatimah Mediawati
Penulis: Indah Nurul Ainiyah