Hukum.umsida.ac.id – Dalam dunia asuransi, konsep mutualisme kerap dikaitkan dengan nilai solidaritas, gotong royong, dan demokrasi ekonomi. Asuransi mutual memberikan peluang bagi pemegang polis untuk berperan ganda sebagai nasabah sekaligus pemilik perusahaan.
Namun, idealisme ini tidak selalu sejalan dengan kenyataan hukum yang ada, seperti yang terjadi dalam kasus Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 di Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Moh. Faizin menyoroti paradoks dalam sistem asuransi mutual dan bagaimana perlindungan hukum bagi pemegang polis sering kali belum optimal.
Baca juga: Strategi Mitigasi Risiko Kredit dalam Menekan Non-Performing Loan (NPL) di Perbankan Indonesia
Konsep Mutualisme dalam Asuransi: Antara Idealitas dan Praktik
Asuransi mutual didasarkan pada konsep bahwa perusahaan dimiliki oleh para pemegang polis, bukan oleh investor atau pemegang saham eksternal.

Dalam teori, hal ini menciptakan sistem yang lebih transparan, di mana keuntungan perusahaan dikembalikan kepada anggota dalam bentuk manfaat asuransi yang lebih baik atau premi yang lebih rendah.
Model ini juga menekankan solidaritas ekonomi, di mana setiap anggota memiliki kepentingan yang sama untuk memastikan keberlanjutan perusahaan.
Namun, dalam praktiknya, sistem ini tidak selalu berjalan ideal. Salah satu masalah terbesar adalah kurangnya regulasi yang ketat dan struktur manajemen yang efektif.
Ketika terjadi mismanajemen atau krisis keuangan, pemegang polis yang seharusnya menjadi pemilik perusahaan justru sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan.
Hal ini dapat terlihat dalam kasus AJB Bumiputera 1912, di mana pemegang polis tidak memiliki mekanisme yang kuat untuk mengontrol keputusan perusahaan, terutama dalam hal pengelolaan aset dan pembayaran klaim.
Lihat juga: Penguatan Hukum Acara dalam Persiapan Praktik Peradilan Semu
Ketimpangan Perlindungan Hukum bagi Pemegang Polis
Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat dua jenis perlindungan hukum bagi pemegang polis: perlindungan preventif dan perlindungan represif.
Perlindungan preventif mencakup regulasi yang mengatur tata kelola perusahaan, standar solvabilitas, serta hak dan kewajiban pemegang polis.
Sementara itu, perlindungan represif merujuk pada langkah-langkah hukum yang dapat diambil ketika terjadi pelanggaran, seperti melalui pengadilan atau upaya restrukturisasi yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sayangnya, dalam kasus AJB Bumiputera 1912, perlindungan preventif terbukti tidak cukup kuat untuk mencegah terjadinya krisis keuangan yang berujung pada kesulitan pembayaran klaim kepada pemegang polis.
Di sisi lain, mekanisme perlindungan represif juga kurang efektif karena tidak ada langkah tegas yang dapat segera menyelesaikan masalah ini.
Pemegang polis yang juga merupakan pemilik perusahaan berada dalam posisi sulit karena mereka tidak bisa begitu saja menggugat perusahaan yang mereka miliki sendiri.
Regulasi terbaru melalui UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) mencoba memberikan kerangka hukum yang lebih jelas bagi perusahaan asuransi mutual.
Namun, implementasi aturan ini masih menghadapi tantangan, terutama dalam hal bagaimana perusahaan mutual dapat tetap menjaga prinsip demokrasi ekonominya tanpa mengorbankan kepastian hukum bagi pemegang polis.
Mencari Jalan Keluar: Reformasi Tata Kelola Asuransi Mutual
Melihat berbagai permasalahan yang terjadi, reformasi dalam tata kelola asuransi mutual menjadi kebutuhan mendesak.
Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memperkuat regulasi dan mekanisme pengawasan agar perusahaan asuransi mutual memiliki sistem tata kelola yang lebih transparan dan akuntabel.
Hal ini bisa mencakup peningkatan peran OJK dalam mengawasi operasional perusahaan serta memperkenalkan model manajemen yang lebih profesional dengan pembatasan konflik kepentingan dalam struktur organisasi.
Selain itu, perlindungan hukum bagi pemegang polis harus diperjelas agar mereka memiliki hak yang lebih tegas dalam proses pengambilan keputusan dan penyelesaian sengketa.
Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah pembentukan lembaga independen yang bertugas mengawasi kepentingan pemegang polis dan memastikan bahwa hak-hak mereka tetap terlindungi dalam berbagai kondisi keuangan perusahaan.
Pada akhirnya, konsep asuransi mutual tetap memiliki nilai yang besar dalam membangun solidaritas ekonomi di masyarakat.
Namun, tanpa adanya tata kelola yang baik dan regulasi yang mendukung, idealisme ini bisa berubah menjadi ancaman bagi pemegang polis.
Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan antara prinsip mutualisme dan kepastian hukum agar model asuransi ini dapat terus berkembang secara sehat dan berkelanjutan di Indonesia.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah