Hukum.umsida.ac.id – Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi masalah serius di Indonesia, terutama yang menimpa perempuan. Kasus ini mengakibatkan korban, yang mayoritas adalah perempuan, mengalami penderitaan fisik dan mental. Penelitian yang dilakukan oleh Emy Rosnawati, dosen hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), berfokus pada analisis putusan Hakim No.180/Pid.Sus/2020/PN Sda, yang merupakan kasus tindak pidana KDRT.
Penelitian ini menganalisis keputusan pengadilan terkait kasus KDRT berdasarkan Putusan Hakim No.180/Pid.Sus/2020/PN Sda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun putusan hakim sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Pasal 44 Ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, terdapat elemen ketidakadilan dalam penjatuhan hukuman.
Korban dari kasus ini adalah seorang perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan mental dari pasangannya. Pelaku KDRT ini dijatuhi hukuman penjara selama 3 tahun, yang menjadi subjek dari analisis penelitian. Emy Rosnawati meneliti ketepatan keputusan hakim dalam menjatuhkan sanksi berdasarkan hukum yang berlaku.
Kasus ini diputuskan pada tahun 2020 oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo (PN Sda) dengan nomor perkara 180/Pid.Sus/2020. Penelitian dilakukan dalam rangka mengevaluasi keputusan tersebut, untuk mengukur apakah hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku telah memberikan keadilan bagi korban.
Kasus ini terjadi di wilayah Sidoarjo, dan sidang dilakukan di Pengadilan Negeri Sidoarjo (PN Sda). Putusan hakim yang dianalisis ini berkaitan dengan tindak kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di dalam lingkup domestik.
Penelitian ini dilakukan karena Emy Rosnawati melihat adanya ketidakadilan dalam keputusan hakim. Meskipun pelaku KDRT divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara, hukuman yang diberikan tidak mencapai batas maksimal yang diatur dalam Pasal 44 Ayat 1 UU Penghapusan KDRT, yang menyebutkan bahwa pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda hingga Rp 15.000.000. Hal ini menjadi perhatian karena kasus KDRT sering kali tidak hanya merugikan korban secara fisik, tetapi juga memberikan dampak psikologis yang mendalam.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan metode case approach, di mana peneliti menganalisis sumber-sumber hukum primer dan sekunder untuk memahami dasar hukum dan penerapan yang digunakan dalam putusan tersebut. Metode analisis yang digunakan adalah deduktif, yaitu mengumpulkan fakta-fakta terkait kasus dan menghubungkannya dengan teori hukum yang relevan. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa KDRT tersebut tidak mencapai hukuman maksimal yang ditentukan oleh undang-undang.
Ketidakadilan dalam Putusan Hakim
Dalam putusan No.180/Pid.Sus/2020/PN Sda, hakim memutuskan terdakwa dihukum 3 tahun penjara. Meskipun hal ini sesuai dengan undang-undang, yakni Pasal 44 Ayat 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, putusan tersebut dinilai tidak mencerminkan keadilan yang maksimal bagi korban. Pasal tersebut mengatur bahwa hukuman maksimal untuk pelaku KDRT adalah 5 tahun penjara dan/atau denda sebesar Rp 15.000.000. Namun, dalam kasus ini, hakim hanya menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara tanpa adanya sanksi denda.
Emy Rosnawati mengungkapkan bahwa keputusan ini dapat menimbulkan persepsi bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak dipandang serius oleh sistem peradilan. Padahal, korban KDRT tidak hanya menderita secara fisik, tetapi juga mengalami trauma mental yang berkepanjangan. Oleh karena itu, pemberian hukuman yang lebih berat dianggap penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan juga sebagai bentuk perlindungan maksimal bagi korban.
Kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang merendahkan martabat korban. Masyarakat dan negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi korban KDRT, terutama perempuan yang sering kali menjadi korban. Penelitian ini menekankan bahwa perlindungan terhadap korban harus diwujudkan dalam bentuk putusan hukum yang adil dan tegas, sehingga dapat mengurangi kasus-kasus kekerasan yang serupa di masa depan.
Penelitian yang dilakukan oleh Emy Rosnawati mengenai putusan hakim pada kasus KDRT di PN Sda menyoroti pentingnya penegakan hukum yang adil bagi korban. Meskipun keputusan hakim telah sesuai dengan undang-undang yang berlaku, masih ada ketidakadilan dalam hal beratnya hukuman yang diberikan kepada pelaku. Hal ini menjadi peringatan bagi para penegak hukum untuk lebih memperhatikan keadilan substantif dalam menangani kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga, guna memberikan perlindungan yang maksimal bagi korban.
Sumber: Emy Rosnawati
Penulis: Indah Nurul Ainiyah