Hukum.umsida.ac.id – UU ITE yang awalnya dirancang untuk menjaga ruang digital dari kejahatan siber kini sering disalahgunakan untuk membungkam kritik.
Fenomena ini semakin menjadi sorotan sejak banyak aktivis, jurnalis, hingga warga biasa diproses hukum hanya karena menyuarakan pendapat. Bagaimana pandangan mahasiswa hukum tentang hal ini?
UU ITE dan Bayang-Bayang Pembungkaman Kritik
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), khususnya setelah direvisi menjadi UU No. 19 Tahun 2016, memiliki sejumlah pasal multitafsir yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi.

Alih-alih menjadi alat hukum yang melindungi ruang digital, UU ini justru acapkali digunakan untuk membungkam kritik.
Pasal 27 ayat (3) tentang penghinaan dan pencemaran nama baik menjadi pasal “karet” yang paling sering disorot.
Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pasal ini sering digunakan oleh mereka yang berkuasa untuk melaporkan individu yang menyuarakan kritik, baik terhadap pejabat publik, institusi, maupun kebijakan negara.
Padahal, dalam prinsip negara demokrasi, kritik adalah bentuk partisipasi warga yang dijamin konstitusi.
Kasus Jerinx SID menjadi contoh nyata bagaimana kritik bisa berujung pidana.
Ia dijerat pasal 28 ayat (2) dan pasal 27 ayat (3) karena komentarnya terhadap IDI di Instagram, meski konteksnya adalah protes atas kebijakan penanganan pandemi.
Contoh lainnya adalah kasus Baiq Nuril yang justru menjadi korban pelecehan, namun dilaporkan balik karena menyebarkan bukti suara pelaku.
Kedua kasus ini menunjukkan betapa lemahnya perlindungan hukum bagi warga biasa ketika berhadapan dengan pasal-pasal karet UU ITE.
Baca juga: UU TPKS dan Realita Kekerasan Seksual Perempuan yang Masih Membisu
Mahasiswa Hukum Bersuara: Demokrasi Tak Sehat Bila Kritik Dimatikan
Sebagai mahasiswa hukum, saya memandang bahwa UU ITE saat ini masih belum tepat sasaran.

Tujuan mulia untuk menertibkan ruang digital seharusnya tidak menjadi dalih untuk membungkam suara-suara kritis.
Kritik, meski tajam, merupakan vitamin bagi demokrasi. Tanpa kritik, negara akan berjalan tanpa pengawasan.
Dalam kajian hukum pidana, hukum seharusnya digunakan secara ultimum remedium yaitu sebagai upaya terakhir, bukan sebagai alat utama menghadapi perbedaan pendapat.
Apalagi dalam kasus-kasus seperti Jerinx atau Nuril, penggunaan hukum pidana justru menciptakan efek jera yang salah arah: warga menjadi takut menyuarakan pendapat.
Mahasiswa hukum harus berada di garda depan dalam mendorong reformasi hukum yang adil dan berkeadilan.
Kita harus berani bersuara bahwa pasal-pasal karet dalam UU ITE harus direvisi lebih jauh, dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan perlindungan hak asasi manusia, sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3).
Lihat juga: Anindyatami, Mahasiswi Hukum Umsida Raih Emas Cabor Taekwondo di Porprov IX Jatim
Mendorong Revisi Substantif dan Perlindungan Hak Digital
Upaya revisi terhadap UU ITE memang pernah dilakukan, namun belum menyentuh akar persoalan.
Pemerintah dan DPR perlu lebih serius melakukan revisi substantif terhadap pasal-pasal yang rawan disalahgunakan.
Salah satu usulan ICJR adalah menghapus pasal penghinaan dan pencemaran nama baik dari ranah pidana dan mengalihkannya ke ranah perdata.
Selain itu, perlu ada mekanisme yang kuat untuk memastikan bahwa aparat penegak hukum tidak sembarangan menerima laporan yang bermuatan politis.
Literasi digital masyarakat juga harus diperkuat, agar semua pihak memahami batas-batas etika berpendapat tanpa harus mengorbankan kebebasan berbicara.
Sebagai generasi muda dan calon penegak hukum masa depan, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan hukum tidak menjadi alat represi.
Demokrasi tidak boleh dilindungi dengan senjata hukum yang menakutkan, melainkan dengan dialog, transparansi, dan perlindungan atas hak-hak warga negara.
UU ITE dan Bayang-Bayang Pembungkaman Kritik
Fenomena ini juga mengindikasikan adanya ketimpangan akses terhadap keadilan hukum.
Mereka yang memiliki kekuasaan atau posisi sosial tinggi lebih mudah menggunakan UU ITE sebagai senjata, sementara masyarakat biasa sering kali tidak memiliki pengetahuan hukum atau sumber daya untuk membela diri.
Hal ini menciptakan ketakutan kolektif di ruang publik digital, sehingga kritik dan ekspresi pendapat menjadi sesuatu yang dihindari daripada diperjuangkan.
Ironisnya, banyak kasus pelaporan berbasis UU ITE justru muncul dari ekspresi yang sah dalam demokrasi, seperti meme, satire, atau unggahan kritis terhadap kebijakan publik.
Bukannya membangun ruang dialog, pasal-pasal ini justru memicu polarisasi dan konflik horizontal antar warga.
Padahal, esensi demokrasi adalah kebebasan untuk berbeda pendapat, bukan penyeragaman pikiran melalui ancaman hukum.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah