Hukum.umsida.ac.id – Peran media pers dalam menjaga integritas lembaga peradilan menjadi pembahasan penting dalam Seminar Edukasi Publik bertajuk “Peran Penghubung Komisi Yudisial: Dua Dekade Menjaga dan Menegakkan Integritas Hakim”.
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Komisi Yudisial (KY) Jawa Timur pada Kamis, 7 Agustus 2025 di Brilliant Coklat Kopi, Surabaya.
Dosen Program Studi Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Anggit Satriyo Nugroho SH MKn, yang juga dikenal sebagai founder Metrotoday.id dan praktisi hukum media, hadir sebagai narasumber.
Ia menyampaikan pentingnya peran media pers dalam pengawasan eksternal terhadap lembaga peradilan, khususnya hakim, demi mewujudkan sistem hukum yang bersih, adil, dan berintegritas.

“Media pers memiliki peran strategis sebagai watchdog yang mengawasi jalannya proses peradilan. Melalui pemberitaan yang kritis dan berbasis fakta, media mampu mendorong akuntabilitas dan transparansi di tubuh lembaga peradilan,” ujar Anggit.
Baca juga: Ketika Kritik Diancam Pasal Kebebasan Berekspresi Terkubur di Balik UU ITE
Mengawasi Peradilan Melalui Pemberitaan yang Kritis
Anggit menjelaskan bahwa pengawasan terhadap peradilan terbagi menjadi dua yakni pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), serta pengawasan eksternal yang dilakukan oleh masyarakat dan media.
Pengawasan eksternal ini memegang peran penting karena menjadi cerminan suara publik terhadap integritas hakim.
Menurutnya, media pers berfungsi untuk mengungkap kasus kontroversial atau dugaan suap yang melibatkan hakim, menganalisis kebijakan putusan, serta membuka ruang diskusi publik tentang proses peradilan.

“Publik berhak tahu bagaimana proses hukum berjalan. Media menjadi jembatan yang menghubungkan informasi tersebut kepada masyarakat,” tegasnya.
Ia juga memaparkan beberapa manfaat besar dari peran pengawasan media, antara lain meningkatkan akuntabilitas hakim, mendorong transparansi, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memberikan edukasi hukum kepada masyarakat.
“Sorotan media membuat hakim dan lembaga peradilan berpikir dua kali sebelum melakukan penyimpangan,” tambahnya.
Namun, Anggit mengingatkan bahwa kekuatan media harus digunakan dengan penuh tanggung jawab.
Pemberitaan yang tidak akurat atau terlalu sensasional justru dapat merusak kredibilitas media dan mengganggu independensi peradilan.
Lihat juga: Membentengi Konsumen di Era Bisnis Online: Antara Penipuan, Hukum, dan Edukasi
Tantangan di Era Media Sosial
Meski memiliki peran vital, media pers kini menghadapi tantangan yang semakin kompleks di era digital.
Salah satunya adalah fenomena trial by medsos, di mana opini publik terbentuk dari informasi yang beredar di media sosial sebelum proses hukum selesai.
“Media sosial punya kecepatan luar biasa dalam menyebarkan informasi, tapi risiko distorsi kebenaran juga tinggi,” ujarnya.
“Hoaks, opini bias, dan pemberitaan yang belum terkonfirmasi bisa merusak reputasi hakim dan memengaruhi objektivitas peradilan,” tambahnya.
Selain itu, keterbatasan akses informasi menjadi hambatan serius. Beberapa proses persidangan bersifat tertutup, sehingga jurnalis kesulitan memperoleh data primer.
“Kadang media terpaksa bergantung pada sumber sekunder yang belum tentu lengkap atau netral. Ini yang berpotensi menimbulkan bias,” ujarnya.
Kondisi ini menuntut jurnalis hukum untuk memiliki keterampilan verifikasi yang kuat, memahami etika pemberitaan, serta mampu memilah informasi yang layak disebarkan ke publik.
Kolaborasi untuk Peradilan yang Bersih
Sebagai solusi, Anggit menekankan pentingnya kolaborasi erat antara media pers, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Agung.
Menurutnya, kerja sama ini dapat dilakukan melalui pelatihan jurnalistik hukum secara rutin, pertukaran informasi yang relevan, serta dukungan moral bagi KY dalam menjalankan tugas pengawasan.
“Dengan sinergi yang kuat, media bisa bekerja lebih profesional dalam mengawasi peradilan. Kolaborasi ini bukan hanya untuk memberitakan kasus, tetapi juga untuk membangun kesadaran hukum di masyarakat,” ungkapnya.
Ia berharap, kolaborasi ini dapat mengurangi risiko kesalahan informasi dan penyimpangan dalam pemberitaan.
Selain itu, edukasi publik tentang isu-isu hukum perlu terus digencarkan agar masyarakat lebih peka terhadap pentingnya integritas peradilan.
“Kalau media dan lembaga peradilan bisa berjalan seiring, pengawasan akan lebih efektif, kepercayaan publik akan meningkat, dan pada akhirnya keadilan dapat benar-benar dirasakan oleh masyarakat,” pungkas Anggit.
Dengan demikian, peran media pers dalam mengawasi peradilan bukan sekadar mempublikasikan kasus hukum, tetapi juga menjadi benteng yang menjaga agar keadilan tidak ternodai.
Di tengah derasnya arus informasi digital, tantangan ini hanya dapat dijawab melalui profesionalisme, integritas, dan komitmen bersama antara media, aparat penegak hukum, dan masyarakat.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah