Hukum.umsida.ac.id – Program penjaminan polis menjadi isu yang semakin mendesak untuk diwujudkan di Indonesia, terutama setelah berbagai kasus gagal bayar menimpa perusahaan asuransi besar.
Krisis yang menghantam industri aasuransi di Indonesia meninggalkan luka mendalam bagi ribuan pemegang polis.
Dari Jiwasraya hingga Bakrie Life, publik telah berkali-kali menyaksikan bagaimana harapan masyarakat pupus ketika klaim asuransi gagal dibayarkan.
Namun, kasus yang paling menyorot perhatian adalah AJB Bumiputera 1912, satu-satunya perusahaan asuransi berbentuk mutual di Indonesia.
Sejak 2018, AJB Bumiputera terus bergulat dengan masalah keuangan akut.
Data OJK mencatat defisit ekuitas perusahaan mencapai Rp21,9 triliun pada akhir 2021, sementara asetnya hanya Rp10,7 triliun dengan kewajiban hingga Rp32,63 triliun.
Rasio Risk Based Capital bahkan minus hingga -1.164,77%, jauh dari batas sehat minimal 100%. Belum lagi, tunggakan klaim yang mencapai Rp8,4 triliun memperlihatkan betapa gentingnya situasi.

Bagi pemegang polis, kondisi ini menimbulkan dilema yang pelik. Mereka bukan hanya konsumen yang menuntut hak, melainkan juga pemilik perusahaan yang harus menanggung kerugian.
“Hal ini menunjukkan betapa pemegang polis berada pada posisi yang sangat rentan. Mereka membutuhkan perlindungan hukum ekstra, salah satunya melalui program penjaminan polis,” jelasnya.
Baca juga: Minimnya Pendidikan Hukum Sejak Dini Menjadi Akar Masyarakat Buta Hukum
Program Penjaminan Polis sebagai Benteng Perlindungan
Gagasan mengenai program penjaminan polis bukanlah hal baru. Sejak terbitnya UU Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, rencana pembentukan lembaga penjaminan polis sudah diamanatkan.
Namun hingga kini, implementasinya belum juga terwujud. Harapan baru muncul setelah disahkannya UU Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK), yang memberi tenggat lima tahun untuk merealisasikan program tersebut, paling lambat 2028.
Dalam penelitian yang dipublikasikan di E3S Web of Conferences 2025, Ia menekankan bahwa program ini penting bukan hanya untuk menyelamatkan pemegang polis Bumiputera, tetapi juga untuk mengembalikan kepercayaan publik pada industri asuransi.

“Hal ini akan menjadi breath of fresh air bagi masyarakat, sebagaimana program penjaminan simpanan di sektor perbankan yang berhasil menjaga stabilitas,” ungkapnya.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah ditunjuk untuk menjalankan program ini.
Modelnya akan meniru lembaga serupa di berbagai negara, seperti Life Insurance Policyholders Protection Corporation (LIPPC) di Jepang dan Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC) di Korea.
Dengan adanya lembaga ini, pemegang polis tidak lagi dibiarkan sendirian menghadapi risiko gagal bayar dari perusahaan asuransi.
Lihat juga: Kebijakan Upah Minimum Antara Tantangan Dunia Usaha dan Harapan Kesejahteraan Sosial
Jalan Panjang Pemulihan dan Tanggung Jawab Kolektif
Meski AJB Bumiputera sempat melaporkan perbaikan kondisi keuangan pada 2022, termasuk mencatat laba Rp704,73 miliar berkat kebijakan pemangkasan nilai manfaat (PNM), realitas di lapangan menunjukkan operasional perusahaan masih belum optimal.
Rasio solvabilitas pada 2022 tetap minus -631,78%, jauh dari standar OJK. Hal ini menegaskan bahwa tanpa dukungan eksternal berupa program penjaminan polis, pemulihan sulit tercapai.
“Program penjaminan polis akan menghadirkan perlindungan preventif dan represif bagi pemegang polis,” jelasnya.
Preventif melalui regulasi dan kontrak yang lebih ketat, serta represif melalui mekanisme penjaminan klaim ketika perusahaan gagal memenuhi kewajiban.
Dengan begitu, hukum benar-benar hadir untuk menjamin hak dasar masyarakat akan rasa aman dan kepastian hukum.
Dalam jangka panjang, keberadaan program ini bukan hanya menyelamatkan nasib pemegang polis, tetapi juga memperkuat stabilitas sektor keuangan nasional.
Seperti yang diamanatkan UUD 1945 pasal 33, asas gotong royong menjadi landasan bahwa kerugian satu pihak tidak boleh membebani masyarakat luas tanpa mekanisme perlindungan yang adil.
Kasus AJB Bumiputera 1912 menjadi pelajaran berharga bahwa industri asuransi tidak kebal krisis.
Tanpa penjaminan polis, ribuan pemegang polis akan terus berada dalam posisi rentan.
Program penjaminan polis yang tengah dipersiapkan harus dipercepat realisasinya, bukan hanya sebagai kewajiban hukum, tetapi juga sebagai wujud nyata negara melindungi rakyatnya.
“Jika nasabah bank mendapat jaminan simpanan, maka sudah seharusnya pemegang polis asuransi juga mendapat perlakuan yang setara. Inilah saatnya negara hadir,” tutupnya.
Dengan terwujudnya program penjaminan polis, kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi dapat dipulihkan sekaligus memperkokoh stabilitas sektor keuangan nasional.
Sumber: Urgency of Mutual Insurance Policy Guarantee Program in Indonesia
Penulis: Indah Nurul Ainiyah