Hukum.umsida.ac.id. – Mahasiswa hukum kerap dipersepsikan sebagai sosok yang akrab dengan kitab undang-undang, hafalan pasal, dan debat norma hukum. Namun, di era perubahan sosial dan digital yang cepat, kemampuan akademik semata tidak lagi cukup.
Bagi generasi Z yang kini mendominasi bangku perkuliahan, soft skill menjadi bekal penting agar ilmu hukum tidak berhenti sebagai teori.
Hukum Tidak Berdiri di Ruang Hampa
Hukum hadir untuk mengatur kehidupan manusia yang dinamis dan kompleks. Oleh karena itu, praktik hukum tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, budaya, dan kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan pandangan almarhum Prof. Satjipto Rahardjo yang menyatakan,
“Hukum itu bukan hanya soal peraturan, melainkan juga soal manusia dan perilakunya.”
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa memahami hukum berarti juga memahami manusia. Di sinilah soft skill menjadi jembatan antara teks hukum dan realitas sosial.
Baca juga: Hukum di Balik Konten Kreator: Bebas Berkarya, Tapi Ada Aturan yang Mengikat
Komunikasi sebagai Kunci Profesi Hukum
Kemampuan komunikasi menjadi soft skill utama bagi mahasiswa hukum. Menyampaikan argumentasi hukum, baik secara lisan maupun tertulis, membutuhkan kejelasan logika, struktur yang runtut, dan bahasa yang persuasif. Tanpa kemampuan ini, pengetahuan hukum yang luas akan sulit berdampak.
World Economic Forum (2023) menempatkan komunikasi dan critical thinking sebagai keterampilan paling dibutuhkan di dunia kerja.
Bagi Gen Z, kemampuan ini perlu dikembangkan tidak hanya di ruang sidang simulasi, tetapi juga di ruang digital, seperti diskusi publik dan advokasi berbasis media sosial.
Lihat juga: Frans Mahasiswa Akuntansi Umsida Sabet Juara 2 Taekwondo KBPP Polri Jatim Cup 3
Berpikir Kritis dan Kepekaan Sosial
Mahasiswa hukum juga dituntut untuk berpikir kritis terhadap aturan yang ada. Hukum tidak selalu netral, dan tidak semua regulasi otomatis adil.
Dengan berpikir kritis, mahasiswa mampu melihat celah hukum, ketimpangan, dan dampak kebijakan terhadap masyarakat.
Menurut pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, “Hukum yang baik adalah hukum yang responsif terhadap rasa keadilan masyarakat.” Pernyataan ini menekankan pentingnya empati dan kepekaan sosial dalam memahami hukum.
Etika dan Kerja Sama dalam Dunia Profesional
Dunia hukum tidak bekerja secara individual. Praktik hukum melibatkan kerja tim, etika profesi, dan tanggung jawab kolektif.
Kemampuan bekerja sama, menghargai perbedaan pendapat, dan menjaga integritas menjadi soft skill yang menentukan kualitas seorang sarjana hukum.
Lindungi Data, Lindungi Hak
Menjadi anak hukum di era Gen Z berarti siap beradaptasi. Menghafal pasal memang penting, tetapi tanpa soft skill, hukum akan kehilangan rohnya. Mahasiswa hukum ideal adalah mereka yang cerdas secara intelektual, matang secara emosional, dan peka secara sosial. Karena pada akhirnya, hukum bukan hanya tentang aturan, tetapi tentang keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Penulis: Salwa Rizky Awalya

















