hukum.umsida.ac.id. – Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial dipenuhi dengan konten pamer gaya hidup, mulai dari barang mewah, liburan mahal, hingga pencapaian finansial di usia muda. Fenomena ini dikenal dengan istilah flexing.
Awalnya, flexing dianggap sebagai bentuk ekspresi diri dan hiburan semata. Namun, seiring masifnya penggunaan media sosial, flexing berkembang menjadi fenomena sosial yang tidak hanya berdampak secara psikologis, tetapi juga berpotensi menimbulkan persoalan hukum.
Di kalangan mahasiswa dan generasi muda, flexing sering dianggap sebagai hal yang wajar dan bahkan menjadi tolok ukur kesuksesan.
Tanpa disadari, perilaku ini dapat mendorong tekanan sosial, kecemburuan, hingga perilaku konsumtif yang berlebihan. Lebih jauh lagi, flexing yang tidak terkendali dapat bersinggungan dengan pelanggaran hukum.
Dari Ekspresi Diri ke Tekanan Sosial
Pada dasarnya, setiap individu memiliki hak untuk mengekspresikan diri di ruang publik, termasuk di media sosial. Namun, flexing sering kali melampaui sekadar ekspresi diri.
Konten yang menampilkan kekayaan, fasilitas eksklusif, atau gaya hidup mewah dapat menciptakan standar semu tentang kesuksesan.
Psikolog sosial Dr. Liza Marielly Djaprie menyebut bahwa flexing berpotensi memicu perbandingan sosial yang tidak sehat.
“Media sosial membuat orang menilai dirinya berdasarkan pencapaian orang lain. Flexing yang terus-menerus dapat memicu kecemasan, rendah diri, dan dorongan untuk hidup di luar kemampuan,” jelasnya.
Bagi mahasiswa, tekanan ini bisa berujung pada perilaku konsumtif, memaksakan gaya hidup tertentu, bahkan mengambil jalan pintas demi terlihat “berhasil”.
Baca juga: Penelitian UMSIDA Soroti Regulasi Alih Fungsi Lahan Hunian Jadi Tempat Ibadah di Sidoarjo
Flexing dan Normalisasi Kebohongan
Tidak sedikit konten flexing yang dibangun di atas realitas semu. Barang yang dipamerkan bisa jadi bukan milik pribadi, melainkan pinjaman, hasil endorse, atau bahkan hasil manipulasi visual. Dalam konteks ini, flexing dapat menormalisasi kebohongan dan pencitraan palsu.
Ketika publik percaya pada narasi yang ditampilkan, flexing tidak lagi menjadi sekadar hiburan, melainkan sarana pembentukan opini yang menyesatkan.
Hal ini berbahaya, terutama jika digunakan untuk memengaruhi orang lain, seperti dalam promosi investasi, bisnis, atau gaya hidup tertentu.
Lihat juga: Debut di Arena Taekwondo, Mahasiswi Semester 1 Umsida Ini Langsung Rebut Emas
Perspektif Hukum: Ketika Flexing Bersinggungan dengan Pelanggaran
Dari sudut pandang hukum, flexing dapat menjadi masalah ketika melanggar norma hukum yang berlaku. Misalnya, flexing yang disertai klaim kekayaan atau kesuksesan finansial untuk menarik orang lain berinvestasi dapat masuk dalam kategori penipuan.
Selain itu, flexing yang menampilkan harta hasil kejahatan atau pencucian uang juga dapat menjerat pelakunya pada tindak pidana lanjutan.
Flexing, Media Sosial, dan UU ITE
Flexing di media sosial juga tidak terlepas dari ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Konten yang mengandung informasi palsu, menyesatkan, atau merugikan pihak lain dapat dikenai sanksi hukum.
Pakar hukum siber Budi Raharjo menjelaskan bahwa konten digital memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan perbuatan di dunia nyata.
“Apa yang disebarkan di media sosial bukan ruang bebas nilai. Ketika konten flexing memuat klaim bohong atau merugikan orang lain, maka konsekuensi hukumnya nyata,” ujarnya.
Dengan kata lain, kebebasan berekspresi di ruang digital tetap memiliki batas hukum yang harus dipatuhi.
Dampak Sosial dan Etika Publik
Selain aspek hukum, flexing juga menimbulkan persoalan etika publik. Ketimpangan sosial yang ditampilkan secara berlebihan dapat memperlebar jurang sosial dan menimbulkan kecemburuan.
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak merata, flexing sering kali dipersepsikan sebagai sikap tidak sensitif terhadap realitas sosial.
Sosiolog Prof. Damsar menyebut bahwa flexing mencerminkan pergeseran nilai dalam masyarakat.
“Ketika pengakuan sosial diukur dari apa yang ditampilkan, bukan dari proses dan kontribusi, maka masyarakat sedang bergerak ke arah budaya simbolik yang dangkal,” jelasnya.
Budaya flexing berpotensi menggeser nilai kerja keras, kejujuran, dan kesederhanaan.
Mahasiswa dan Tantangan Literasi Digital
Sebagai kelompok terdidik, mahasiswa memiliki peran strategis dalam merespons fenomena flexing. Literasi digital menjadi kunci agar mahasiswa tidak terjebak dalam budaya pamer yang menyesatkan.
Mahasiswa perlu memahami bahwa apa yang ditampilkan di media sosial tidak selalu mencerminkan realitas yang utuh.
Kesadaran ini penting agar mahasiswa tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga produsen konten yang bertanggung jawab.
Dalam konteks hukum, sikap kritis terhadap flexing dapat mencegah keterlibatan dalam praktik yang melanggar hukum.
Dari Seru-Seruan Menuju Kesadaran Hukum
Flexing mungkin bermula dari seru-seruan dan keinginan untuk diakui. Namun, tanpa kontrol dan kesadaran hukum, fenomena ini dapat berubah menjadi masalah serius.
Baik pelaku maupun penonton flexing sama-sama memiliki tanggung jawab untuk bersikap bijak di ruang digital.
Hukum hadir bukan untuk membatasi kreativitas, melainkan untuk menjaga agar kebebasan tidak merugikan pihak lain.
Oleh karena itu, penting bagi generasi muda untuk memahami batas antara ekspresi diri dan pelanggaran hukum.
Bijak Bermedia Sosial sebagai Tanggung Jawab Bersama
Fenomena flexing adalah cermin dari dinamika sosial di era digital. Ia bisa menjadi hiburan, tetapi juga bisa menjadi sumber masalah.
Dalam perspektif hukum, flexing tidak berdiri di ruang hampa. Ketika melanggar norma hukum dan etika, ia dapat berujung pada konsekuensi serius.
Mahasiswa, khususnya di lingkungan akademik hukum, diharapkan mampu menjadi agen perubahan dengan menumbuhkan budaya bermedia sosial yang bijak, kritis, dan bertanggung jawab. Dengan demikian, media sosial tidak hanya menjadi panggung pamer, tetapi juga ruang edukasi dan refleksi sosial.
Penulis: Salwa Rizky Awalya

















