Hukum.umsida.ac.id – Isu tentang adanya ODOL (Over Dimension Over Load) kembali memanas dan membuat gempar publik.
Isu tersebut sudah menimbulkan berbagai persepsi yang berbeda beda. Salah satu video Tiktok menunjukkan kegelisahan para sopir truk yang mengeluh akan peraturan ODOL yang diterapkan.
Dalam video tersebut, sopir truk mengaku bahwa tindakan yang ia lakukan semata mata bukan salahnya, ia hanya mengikuti aturan dari perusahaan dan ia tidak mengetahui bahwa muatan yang dibawanya sudah melebihi batas yang ditentukan oleh peraturan pemerintah.
Isu ini pastinya membawa dampak dan perselisihan tentang siapa yang akan bertanggung jawab tentang pelanggaran ODOL.
Apakah sopir truk yang hanya menjalankan perintah atau perusahaan yang memberikan perintah?
Apa Itu Peraturan ODOL?
ODOL adalah peraturan kebijakan yang ditujukan pada truk – truk yang memiliki muatan ataupun dimensi berlebih, dari segi panjang, lebar maupun tinggi.

Singkatnya ODOL ini adalah aturan bagi para sopir truk yang memiliki muatan berlebih hingga menyalahi aturan perundang-undangan.
Adapun tujuan yang diterapkan adanya aturan ODOL ini adalah menjaga infrastruktur jalan, menjaga keselamatan berkendara, menjaga kenyamanan dan keamanan saat di jalan, menjaga dari kecelakaan lalu lintas yang dimana disebabkan oleh kendaraan bermuatan lebih.
Pemerintah sudah memberlakukan peraturan Odol ini sejak 2023 dengan ketat. Namun, peraturan ini akan diberlakukan penuh pada tahun 2026 mendatang.
Peraturan ini memiliki sanksi berupa denda hingga pidana penjara bagi siapa saja yang melanggarnya.
Tetapi dalam penerapannya, aturan ini mendapati beberapa kritik.
Kritik itu muncul akibat perlakuan perusahaan kepada sopir truk yang dipameri dengan penghasilan tambahan yang menyebabkan berada pada pilihan yang berat.
Dia sedang berada di posisi lemah dan berat untuk menolak permintaan perusahaan dengan alasan tekanan yang didapat dari perusahaan, tuntuan target yang melebihi batas pengiriman, atau dengan alasan tidak ingin kehilangan pekerjaannya demi keluarga di rumah.
Lihat juga: Waspadai Jebakan Dividen: Saat Imbal Hasil Tinggi Justru Jadi Bumerang bagi Investor Saham.
Sopir Menjadi Kambing Hitam?
Pada isu ODOL ini, yang menjadi topik utama dalam kasus ini adalah sopir truk.

Mereka dianggap yang bertanggung jawab atas bawaan atau muatan berlebih hingga terjerat pasal perundang – undangan lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Tetapi, dengan perlakuan seperti ini publik tidak hanya diam dan akan terus bertanya tanya jika hanya sopir yang terkena sanksi.
Sedangkan, perusahaan yang memaksa dan menuntut sopir untuk membawa muatan yang berlebih terbebas dari jeratan Hukum.
Hal ini akan terus memunculkan perdebatan sengit yang memicu banyaknya pro dan kontra.
Perdebatan ini menimbulkan aksi demo oleh ribuan sopir truk dari Bandung, Trenggalek, hingga Surabaya turun kejalan dan memasang titik strategis untuk menuntut kebijakan peraturan yang tidak adil dan menyengsarakan mereka.
Truk truk di jalan penuh dengan hiasan yang bertuliskan “Penolak terhadap RUU ODOL”. Aparat TNi-Polri diturunkan dan dikerahkan untuk menjaga situasi dan mengurangi kemacetan di jalan.
Peristiwa seperti ini, menimbulkan kekhawatiran tindak penyalahgunaan peraturan ODOL.
Penyalahgunaan oleh aparat penegak Hukum untuk menindak sopir tanpa menyentuh akar permasalahannya.
Baca juga: Waspadai Pelanggaran Hak Cipta: Merekam Film di Bioskop Bisa Berujung Pidana
Peran Hukum dan Tanggung Jawab Perusahaan
Sesuai dengan fungsi dan perannya, Hukum dalam kasus ODOL sebagai alat pengatur dan pelindung kepentingan publik.
Peraturan yang ditetapkan pemerintah sudah sesuai dengan kondisi yang terjadi seperti UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Menteri Perhubungan hingga Sanksi pidana dan administratif.
Tetapi, terkait peraturan yang dibuat belum ada bukti nyata terhadap kepuasan pengguna peraturan tersebut.
Pengemudi yang menjalankan kendaraan, seolah olah bertanggung jawab terhadap semua apa yang dibawanya.
Padahal, mereka hanya mendapati perintah dan aturan yang harus dilaksanakan.
Namun, disisi lain aturan juga membuka ruang pertanggung jawaban bagi korporasi khususnya pelanggaran yang terjadi karena perintah langsung dari perusahaan ataupun membiasakan praktik ODOL.
Sayangnya, pada beberapa kasus, perusahaan sulit untuk disentuh oleh Hukum.
Pengawasan dan lemahnya bukti administrasi yang menegaskan bahwa perintah tersebut datang langsung dari perusahaan.
Dalam kasus ODOL seperti ini, seharusnya Hukum tidak boleh hanya menyentuh permukaan dasarnya saja.
Tetapi yang menjadi akar utama dan aktor dalam kasus ini adalah perusahaan dan yang seharusnya memiliki tanggung jawab baik dari Hukum maupun Moral.
Supaya keadilan tetap terjaga, sebaiknya peran hukum harus diimbangi dengan pemikiran yang seharusnya bisa digali dan dikritisi lebih dalam lagi.
Agar rasa keadilan hukum benar benar hadir, maka rasa ingin melindungi yang lemah harus kuat daripada menjerat yang mudah ditangkap saja.
Penulis : Novita Fitri Wijayanti
Penyunting: Indah Nurul Ainiyah