Hukum.umsida.ac.id – RUU Perampasan Aset hadir sebagai salah satu regulasi penting yang diharapkan mampu memperkuat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan kejahatan berat lainnya di Indonesia.
Dalam praktiknya, berbagai kasus korupsi sering kali meninggalkan aset yang sulit dijangkau oleh negara karena keterbatasan regulasi.
Aset hasil kejahatan kerap disembunyikan, dialihkan kepemilikannya, atau bahkan dibiarkan begitu saja ketika pelaku berhasil melarikan diri atau meninggal dunia.
Akibatnya, kerugian negara terus membengkak tanpa adanya kepastian pemulihan.
RUU Perampasan Aset: Menciptakan Mekanisme yang Lebih Efektif
RUU ini menawarkan mekanisme perampasan aset yang lebih efektif dibandingkan aturan yang sudah ada.

Paradigma baru yang ditawarkan menempatkan aset hasil kejahatan sebagai objek utama yang disasar, bukan hanya individu pelaku.
Dengan menggunakan pendekatan perdata, proses perampasan aset dapat dilakukan lebih cepat, tanpa harus menunggu putusan pidana.
Negara tetap bisa mengamankan kekayaan yang tidak wajar atau tidak bisa dibuktikan asal-usulnya.
Langkah ini penting untuk memastikan keadilan substantif sekaligus menjaga keberlangsungan pembangunan nasional yang kerap terhambat oleh praktik korupsi.
Lebih dari itu, mekanisme ini juga diharapkan dapat memutus rantai kejahatan yang selama ini berlangsung.
Pelaku tidak lagi bisa menikmati hasil perbuatan ilegalnya, dan efek jera dapat tercipta bukan hanya pada individu, tetapi juga pada jejaring yang kerap memfasilitasi pengalihan aset kejahatan.
Dengan demikian, kehadiran RUU Perampasan Aset bisa menjadi terobosan nyata dalam menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan oleh para koruptor.
Baca juga: Krisis Bumiputera dan Urgensi Program Penjaminan Polis Asuransi di Indonesia
Perjalanan Panjang dan Dinamika Politik
Meskipun urgensinya sangat tinggi, perjalanan RUU Perampasan Aset menuju pengesahan tidaklah mulus.

Wacana mengenai regulasi ini sudah bergulir sejak tahun 2008, namun hingga kini belum juga mencapai titik final.
Berulang kali masuk dalam daftar pembahasan legislatif, RUU ini selalu tersingkir dari prioritas.
Pada akhir 2024, posisinya bahkan tidak tercantum dalam Prolegnas 2025.
Lambannya proses legislasi ini menjadi catatan serius, mengingat setiap tahun negara kehilangan potensi triliunan rupiah akibat aset hasil kejahatan yang tidak bisa disita secara sah.
Dinamika politik di parlemen turut memperlambat pembahasan. Perbedaan pandangan antarfraksi, tarik-menarik kepentingan, hingga kekhawatiran penyalahgunaan kewenangan menjadi alasan yang sering dikemukakan.
Di sisi lain, pemerintah menunjukkan komitmen kuat untuk mempercepat regulasi ini.
Dorongan dari Presiden dan kementerian terkait menandakan adanya kesadaran bahwa tanpa perangkat hukum yang memadai, upaya pemberantasan korupsi hanya akan berputar di lingkaran yang sama.
Beberapa kalangan bahkan menyarankan opsi penerbitan Perppu sebagai jalan pintas jika DPR kembali menunda pembahasan.
Namun, jalur legislasi tetap dianggap ideal agar legitimasi regulasi ini lebih kuat dan tidak menimbulkan polemik baru.
Pilihan akhirnya ada pada keseriusan wakil rakyat untuk menempatkan kepentingan publik di atas kalkulasi politik.
Publik menuntut adanya kepastian bahwa RUU ini tidak kembali menjadi sekadar wacana yang berulang dari tahun ke tahun.
Lihat juga: Peran Media Pers dalam Pengawasan Peradilan: Edukasi Publik oleh Dosen Hukum Umsida
Harapan atas Transparansi dan Akuntabilitas
Pengesahan RUU Perampasan Aset tidak hanya menyangkut soal teknis hukum, tetapi juga pengelolaan aset hasil sitaan.
Setelah dirampas, aset-aset tersebut harus dikelola secara profesional dan transparan.
Lembaga seperti Pusat Pemulihan Aset, Kejaksaan, maupun KPK diharapkan menjadi garda depan dalam memastikan harta yang sudah diamankan benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat.
Aset dapat digunakan untuk mendukung program sosial, pembangunan infrastruktur, atau menambah pendapatan negara.
RUU ini juga berpotensi memperkuat citra Indonesia sebagai negara yang serius dalam perang melawan korupsi.
Jika diterapkan dengan mekanisme yang transparan dan melibatkan partisipasi publik, regulasi ini tidak hanya menjadi instrumen hukum, tetapi juga simbol keseriusan bangsa dalam menjaga keadilan.
Lebih jauh, masyarakat akan melihat bahwa negara hadir untuk melindungi kepentingan rakyat dengan memastikan hasil kejahatan tidak lagi dinikmati oleh segelintir orang.
Pada akhirnya, kehadiran RUU Perampasan Aset adalah momentum yang tidak boleh disia-siakan.
Regulasi ini akan menjadi tonggak penting dalam memperkuat sistem hukum, menutup celah kejahatan, serta mengembalikan hak negara yang selama ini dirampas.
Harapan terbesar adalah agar seluruh pihak, baik pemerintah maupun DPR, mampu menunjukkan keberpihakan nyata pada kepentingan bangsa dengan segera menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan RUU ini.
Dengan begitu, Indonesia dapat melangkah lebih mantap menuju tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan bebas dari bayang-bayang korupsi.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah