hukum.umsida.ac.id. – Di era digital saat ini, hampir seluruh aktivitas masyarakat, mulai dari memesan transportasi, berbelanja daring, hingga mengakses layanan pendidikan, selalu diawali dengan satu tindakan sederhana: mengklik tombol “I Agree” atau “Setuju”.
Sayangnya, tindakan tersebut kerap dilakukan tanpa membaca atau memahami isi Terms & Conditions (Syarat dan Ketentuan) yang menyertainya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada masyarakat umum, tetapi juga di kalangan mahasiswa dan generasi muda.
Banyak yang menganggap Terms & Conditions hanyalah formalitas administratif yang panjang, membosankan, dan tidak berdampak langsung. Padahal, secara hukum, persetujuan tersebut merupakan bentuk perjanjian yang mengikat para pihak.
Terms & Conditions sebagai Perjanjian yang Sah
Dalam perspektif hukum perdata, Terms & Conditions merupakan perjanjian baku (standard contract). Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ketika pengguna menekan tombol “setuju”, maka secara hukum telah terjadi kesepakatan.
Ahli hukum perdata, Prof. Subekti, menyatakan bahwa:
“Perjanjian tidak selalu harus dituangkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani secara fisik. Selama ada kesepakatan kehendak, perjanjian tersebut sah dan mengikat.”
Dengan demikian, dalih “tidak membaca” tidak dapat serta-merta membebaskan pengguna dari tanggung jawab hukum.
Prinsip pacta sunt servanda menegaskan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Mengapa Gen Z Rentan Terjebak?
Generasi Z dikenal sebagai generasi digital yang adaptif terhadap teknologi. Namun, kecepatan dan kebiasaan scrolling justru membuat mereka rentan mengabaikan aspek hukum dari aktivitas digital. Banyak Gen Z lebih fokus pada kemudahan akses dibandingkan risiko jangka panjang.
Ketidaksadaran ini dapat berujung pada berbagai persoalan, mulai dari penyalahgunaan data pribadi, pemotongan saldo sepihak, hingga keterikatan kontrak berlangganan yang merugikan pengguna.
Baca juga: Terlibat Kajian Aset Kripto, Akademisi Hukum UMSIDA berperan dalam Evaluasi Fatwa Muhammadiyah
Data Pribadi: Komoditas yang Sering ‘Diserahkan’ Gratis
Salah satu isi Terms & Conditions yang paling sering diabaikan adalah klausul mengenai pengelolaan data pribadi. Banyak aplikasi mencantumkan izin untuk mengakses kontak, lokasi, kamera, bahkan menyebarluaskan data kepada pihak ketiga.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sebenarnya telah memberikan payung hukum bagi masyarakat.
Namun, perlindungan hukum tersebut menjadi lemah ketika pemilik data secara sukarela memberikan persetujuan tanpa memahami ruang lingkupnya.
Dalam praktiknya, persetujuan yang diberikan melalui klik dianggap sah selama memenuhi unsur kesadaran, meskipun pengguna tidak membaca secara rinci.
Hal inilah yang menjadi celah bagi perusahaan digital untuk menyusun klausul yang cenderung menguntungkan sepihak.
Lihat juga: Pemimpin Perempuan Berdaya: Dekan FBHIS Umsida Sabet Outstanding GAD Partners Award
Klausul Baku dan Ketimpangan Posisi Tawar
Terms & Conditions umumnya bersifat klausul baku, artinya pengguna tidak memiliki ruang untuk menegosiasikan isi perjanjian. Kondisi ini menciptakan ketimpangan posisi tawar antara penyedia layanan dan pengguna.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebenarnya melarang klausul baku yang merugikan konsumen. Namun, dalam praktik digital, pembuktian unsur kerugian sering kali tidak sederhana.
Dampak Nyata: Dari Kerugian Finansial hingga Sengketa Hukum
Kasus-kasus akibat kelalaian membaca Terms & Conditions sudah banyak terjadi. Mulai dari pengguna yang terikat kontrak berlangganan otomatis, kehilangan akun tanpa hak banding, hingga sengketa terkait penggunaan konten pribadi oleh platform digital.
Bahkan, beberapa kasus berujung pada proses hukum karena pengguna dianggap melanggar perjanjian yang telah disepakati sebelumnya.
Situasi ini menjadi ironi ketika pengguna merasa dirugikan, tetapi justru berada pada posisi hukum yang lemah karena telah menyetujui syarat sejak awal.
Peran Kampus dalam Membangun Kesadaran Hukum Digital
Sebagai institusi pendidikan, kampus memiliki peran strategis dalam menanamkan kesadaran hukum digital kepada mahasiswa.
Tidak hanya melalui mata kuliah hukum siber, tetapi juga melalui diskusi publik, seminar, dan literasi digital yang kontekstual.
Mahasiswa, khususnya mahasiswa hukum, diharapkan mampu menjadi agen edukasi bagi masyarakat sekitar. Pemahaman terhadap Terms & Conditions bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga bentuk perlindungan diri di ruang digital.
Bijak Digital, Cerdas Hukum
Mengklik “setuju” memang terlihat sepele, tetapi konsekuensi hukumnya sangat nyata. Di era digital, kesadaran hukum tidak lagi bersifat opsional, melainkan kebutuhan.
Membaca Terms & Conditions adalah langkah kecil yang mencerminkan tanggung jawab besar sebagai warga digital.
Dengan meningkatkan kesadaran hukum sejak dini, khususnya di kalangan Gen Z, ruang digital dapat menjadi tempat yang lebih aman, adil, dan bertanggung jawab.
Kampus dan mahasiswa memiliki peran penting untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi berjalan seiring dengan kesadaran hukum yang matang.
Penulis: Salwa Rizky Awalya

















