Hukum.umsida.ac.id – Penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan yang dilakukan korporasi masih menyisakan banyak persoalan.
Proses peradilan yang panjang, rumit, dan mahal kerap tidak efektif memulihkan kerugian negara maupun masyarakat.
Misalnya, kasus pencemaran Sungai Cikijing di Rancaekek akibat pembuangan limbah B3 oleh tiga pabrik tekstil, menimbulkan kerugian hingga Rp11,4 triliun.
Kerugian itu meliputi kerusakan sektor pertanian, perikanan, kesehatan masyarakat, kualitas air, hingga hilangnya pendapatan warga.
Namun, meski kerugian sangat besar, penyelesaian kasus lingkungan melalui mekanisme peradilan biasa berlangsung bertahun-tahun.
Hal ini mengakibatkan pemulihan lingkungan tertunda dan masyarakat terus menanggung dampaknya.
Menurut dosen Umsida, “Keadilan lingkungan sering kali terhambat oleh prosedur panjang dan biaya tinggi, sehingga masyarakat justru semakin dirugikan,” ujar Emy Rosnawati dalam penelitiannya.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menunjukkan sejumlah perkara pidana lingkungan membutuhkan waktu penyelesaian yang tidak singkat.
Kasus PT Adei Plantation berlangsung 812 hari, PT Kalista Alam 922 hari, hingga PT Karawang Prima Sejahtera Steel 713 hari.
Durasi yang panjang ini jelas berlawanan dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Baca juga: Reshuffle Kabinet Prabowo Dinilai Strategis Jawab Dinamika Politik dan Ekonomi
Mengenal Konsep Deferred Prosecution Agreement
Melihat kelemahan tersebut, penelitian Emy Rosnawati menawarkan konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA) sebagai solusi alternatif.

DPA adalah perjanjian tertulis antara jaksa dengan korporasi pelaku tindak pidana lingkungan.
Dengan mekanisme ini, penuntutan dapat ditangguhkan apabila korporasi bersedia memenuhi kewajiban tertentu.
Kewajiban yang dimaksud meliputi, mengakui kesalahan dan berjanji tidak mengulang, membayar kompensasi atas kerugian negara maupun lingkungan, melakukan perbaikan serta langkah pencegahan di masa depan, serta menyelesaikan seluruh kewajiban dalam batas waktu yang disepakati, misalnya 180 hari.
Dengan begitu, DPA menekankan pemulihan kerugian dan pencegahan kerusakan daripada sekadar menghukum secara pidana.
Penelitian ini juga membandingkan praktik DPA di Amerika Serikat dan Inggris.
Di Inggris, penerapan DPA diawasi ketat oleh pengadilan dan digunakan hanya pada kasus serius, sementara di Amerika Serikat jaksa memiliki kewenangan lebih besar dengan keterlibatan pengadilan yang lebih terbatas.
Adaptasi konsep ini ke Indonesia tentu harus menyesuaikan dengan karakteristik sistem hukum nasional.
“Konsep DPA bisa menjadi jembatan untuk mengefektifkan penegakan hukum lingkungan, asalkan disesuaikan dengan sistem hukum Indonesia,” tegas Emy.
Lihat juga: Membangun Pemahaman Hukum: Apa yang Dipelajari Mahasiswa Hukum?
Pemulihan Lingkungan yang Lebih Cepat
Kelebihan utama DPA terletak pada kesesuaiannya dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Melalui perjanjian antara jaksa dan korporasi, proses persidangan panjang dapat dipangkas, sementara biaya perkara ditekan seminimal mungkin.
Dari sisi negara, mekanisme ini memungkinkan pemulihan kerugian dilakukan secara lebih cepat.
Masyarakat yang terdampak juga bisa segera memperoleh manfaat dari perbaikan lingkungan.
Sedangkan bagi korporasi, DPA memberikan kesempatan memperbaiki kesalahan tanpa harus menanggung stigma jangka panjang akibat proses persidangan terbuka.
Menurut Emy Rosnawati, “DPA merupakan mekanisme yang selaras dengan semangat efisiensi peradilan. Fokusnya tidak semata pada penghukuman, melainkan bagaimana kerugian dapat dipulihkan secara cepat dan efektif,” ungkapnya.
Lebih jauh, DPA juga menekankan keterlibatan hakim dalam fungsi pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
Jaksa wajib melaporkan perkembangan kesepakatan kepada pengadilan sehingga prinsip keadilan tetap terjaga.
Apabila korporasi melanggar kesepakatan, penuntutan dapat dilanjutkan. Namun, jika kewajiban dipenuhi, perkara dihentikan.
Konsep Deferred Prosecution Agreement (DPA) yang ditawarkan dalam penelitian ini menghadirkan harapan baru bagi peradilan lingkungan di Indonesia.
Dengan menekankan pemulihan kerugian, efisiensi waktu, dan biaya yang lebih ringan, DPA bisa menjadi instrumen inovatif untuk menutup celah kelemahan peradilan konvensional.
Jika diimplementasikan dengan regulasi yang jelas dan pengawasan yang ketat, DPA berpotensi mewujudkan keadilan yang lebih nyata bagi lingkungan, negara, dan masyarakat.
Pada akhirnya, mekanisme ini bukan hanya melindungi bumi dari kerusakan, tetapi juga memastikan generasi mendatang tetap memiliki masa depan yang layak.
Dengan penerapan DPA, Indonesia dapat membangun sistem hukum yang tidak hanya menghukum, tetapi juga benar-benar berpihak pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan rakyat.
Penulis: Indah Nurul Ainiah