Hukum.umsida.ac.id – Meski Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah menjadi tonggak hukum penting di Indonesia, kenyataannya perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan seksual masih jauh dari ideal.
Tingginya angka kekerasan yang dilaporkan, rendahnya penindakan hukum, serta praktik victim blaming menunjukkan bahwa respons negara belum sepenuhnya selaras dengan realita di lapangan.
Baca juga: Memotret di Tempat Umum: Hak Ekspresi atau Ancaman Privasi?
Ketimpangan antara Regulasi dan Realita UU TPKS
UU TPKS disahkan dengan harapan menjawab kekosongan hukum terkait tindak kekerasan seksual yang selama ini tak terakomodasi secara layak dalam KUHP.

UU ini mencakup pengakuan terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual, menjamin hak pemulihan korban, dan memandatkan penyediaan layanan pendampingan, medis, hingga psikologis.
Namun, menurut data Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2024, terdapat 463.554 kasus kekerasan terhadap perempuan yang tercatat, dengan sebagian besar didominasi oleh kekerasan seksual.
Mirisnya, hanya sebagian kecil dari kasus tersebut yang berlanjut ke proses hukum.
Kendala utama terletak pada implementasi. Banyak aparat penegak hukum baik kepolisian maupun kejaksaan belum memahami secara menyeluruh isi dan semangat UU TPKS.
Dalam beberapa laporan, korban justru diminta menghadirkan bukti fisik yang sulit diperoleh, atau dipaksa menjalani mediasi, padahal UU TPKS secara eksplisit melarang pendekatan damai dalam kasus kekerasan seksual.
Lihat juga: Menembus Dunia Peradilan Agama Peluang Emas bagi Sarjana Hukum Umsida
Victim Blaming dan Minimnya Perspektif Korban
Masalah struktural yang paling mencolok adalah budaya victim blaming.

Alih-alih mendengarkan korban dengan empati dan pendekatan trauma healing, banyak proses hukum yang justru menyudutkan korban dengan pertanyaan-pertanyaan intimidatif seperti “kenapa tidak menjerit?”, “apa kamu memakai pakaian terbuka?”, atau “apakah kamu berduaan dengan pelaku?”
Kondisi ini menyebabkan banyak korban memilih diam, menutup luka, dan menanggung trauma sendiri.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa minimnya sistem pelaporan yang aman dan berpihak pada korban menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat pelaporan kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Padahal, UU TPKS telah mengamanatkan pendekatan berbasis korban (victim-centered approach), termasuk hak untuk tidak dipersalahkan, hak atas layanan hukum, kesehatan, dan psikososial, serta jaminan kerahasiaan identitas.
Sayangnya, dalam praktik, pendekatan ini masih kalah oleh perspektif patriarkis yang masih kuat dalam sistem hukum dan budaya kita.
Membangun Sistem yang Berpihak dan Tidak Membisukan
Menilik berbagai tantangan implementasi, maka efektivitas UU TPKS harus ditopang oleh reformasi di level aparat dan kelembagaan.
Pertama, pelatihan wajib bagi aparat penegak hukum dalam memahami substansi UU TPKS dan perspektif gender sangat krusial.
Polisi, jaksa, dan hakim perlu dibekali dengan pengetahuan dan sensitivitas terhadap korban.
Kedua, negara perlu memastikan keberadaan unit layanan terpadu di tiap wilayah: PPA Polres, rumah aman, layanan psikologis, hingga pendamping hukum.
Tanpa infrastruktur layanan ini, hak pemulihan korban hanya akan menjadi jargon tanpa bukti nyata.
Ketiga, publik juga memiliki peran penting dalam mengawal implementasi UU TPKS.
Edukasi masyarakat tentang apa itu kekerasan seksual, bagaimana mendampingi korban, dan menghilangkan stigma harus terus dilakukan.
Media pun wajib bersikap adil, tidak mengeksploitasi korban, serta memberikan ruang kepada suara penyintas untuk didengar.
UU TPKS adalah kemajuan hukum yang patut diapresiasi. Namun, ketika aparat belum sepenuhnya memahami semangatnya, ketika budaya menyalahkan korban masih langgeng, dan ketika korban terus dibungkam oleh rasa takut dan stigma, maka kita harus jujur mengakui perlindungan perempuan di Indonesia masih sebatas teks di atas kertas.
Saatnya negara dan masyarakat membuktikan bahwa kita benar-benar berpihak pada korban bukan sekadar membungkamnya dalam kesunyian sistem.
Namun, perjuangan belum selesai. Setiap pasal dalam UU TPKS harus diterjemahkan menjadi tindakan nyata di ruang-ruang interogasi, di ruang sidang, dan di hati setiap penegak hukum. Perempuan korban kekerasan seksual tak butuh janji mereka butuh jaminan bahwa suara mereka didengar, luka mereka diobati, dan hak mereka dilindungi.
Sudah waktunya kita tidak hanya menilai keberhasilan dari banyaknya undang-undang yang disahkan, tetapi juga dari sejauh mana negara hadir untuk korban, menyembuhkan luka dan memastikan bahwa keadilan bukan milik segelintir orang, melainkan hak semua warga, terutama mereka yang paling sering dibungkam: para perempuan korban kekerasan seksual.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah