Hukum.umsida.ac.id – Pandemi Covid-19 membawa tantangan global dalam mengakses produk farmasi penting seperti vaksin, obat-obatan, dan peralatan medis. Salah satu solusi yang diusulkan untuk mengatasi kendala ini adalah TRIPs Waiver. Inisiatif ini merupakan penghapusan sementara kewajiban perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI) yang diatur dalam perjanjian WTO, khususnya terkait paten produk farmasi.
Konsep ini memungkinkan negara-negara anggota WTO untuk mengabaikan kewajiban melindungi hak paten dan membuka akses lebih luas terhadap teknologi farmasi yang diperlukan untuk menangani pandemi. Menurut artikel yang ditulis oleh Dr Lidya Shery Muis SH MH MKn tentang TRIPs Waiver berpotensi mempercepat distribusi vaksin secara merata, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumber daya. Penghapusan perlindungan ini dirancang untuk mendukung kesehatan publik secara global selama krisis.
Dampak Perlindungan Paten pada Akses Farmasi
Hak paten farmasi memainkan peran penting dalam melindungi inovasi, tetapi selama pandemi, hal ini menimbulkan tantangan serius dalam aksesibilitas. Produk farmasi seperti vaksin dan obat antivirus untuk Covid-19 adalah hasil dari penelitian mahal dan dilindungi oleh hak paten yang ketat. Akibatnya, hanya pemegang paten yang dapat memproduksi, menjual, atau mendistribusikan produk tersebut tanpa pelanggaran hukum.
Namun, perlindungan paten ini berdampak negatif pada negara-negara berkembang yang tidak memiliki teknologi atau kapasitas produksi memadai. Banyak negara berpenghasilan rendah mengalami kesulitan mendapatkan vaksin yang cukup untuk memenuhi kebutuhan populasi mereka. Sementara itu, negara-negara maju telah memesan dosis dalam jumlah besar, menciptakan ketimpangan distribusi yang signifikan.
Keuntungan dan Tantangan Implementasi TRIPs Waiver
Muis menyoroti bahwa implementasi TRIPs Waiver memberikan peluang besar untuk mengatasi masalah ini. Dengan penghapusan kewajiban paten, negara-negara berkembang dapat memproduksi vaksin secara mandiri atau melalui kerja sama dengan negara lain, tanpa harus membayar royalti kepada pemegang paten. Hal ini tidak hanya meningkatkan ketersediaan vaksin tetapi juga mempercepat upaya pengendalian pandemi di seluruh dunia.
Namun, pelaksanaan kebijakan ini tidak tanpa tantangan. Salah satu hambatan utama adalah kebutuhan regulasi yang jelas untuk mengatur bagaimana negara dapat menggunakan fleksibilitas ini. Beberapa negara maju, seperti Jerman dan Jepang, menolak gagasan TRIPs Waiver, dengan alasan bahwa penghapusan paten dapat mengurangi insentif bagi perusahaan farmasi untuk melakukan penelitian dan pengembangan di masa depan.
Sebaliknya, Indonesia adalah salah satu pendukung kuat TRIPs Waiver. Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia mendukung inisiatif ini sebagai bentuk solidaritas global dalam menangani pandemi. Indonesia juga memanfaatkan peluang ini untuk memperkuat kapasitas produksi vaksin nasional melalui PT Bio Farma, yang memiliki kemampuan memproduksi jutaan dosis vaksin per bulan.
Lihat juga: Kurikulum OBE Prodi Hukum Umsida Siapkan Lulusan Berdaya Saing ASEAN
Kebijakan WTO dan Solusi Alternatif
Di tengah pro dan kontra terhadap TRIPs Waiver, WTO dan beberapa negara menawarkan solusi alternatif seperti lisensi sukarela dan transfer teknologi. Lisensi sukarela memungkinkan pemegang paten memberikan izin kepada pihak ketiga untuk memproduksi vaksin, tetapi proses ini seringkali terhambat oleh praktik monopoli perusahaan farmasi besar. Monopoli ini membatasi jumlah produsen yang dapat berpartisipasi, sehingga mengurangi kapasitas produksi global.
Transfer teknologi juga menjadi opsi penting, tetapi memerlukan kesediaan pemegang paten untuk berbagi pengetahuan teknis yang diperlukan. Sayangnya, banyak perusahaan farmasi enggan melakukan ini karena kekhawatiran terhadap pelanggaran HAKI atau penyalahgunaan teknologi mereka.
Artikel ini menyimpulkan bahwa TRIPs Waiver merupakan langkah signifikan untuk mengatasi ketimpangan akses farmasi selama pandemi. Namun, implementasinya memerlukan dukungan regulasi yang kuat dan konsensus global. Di sisi lain, fleksibilitas yang sudah diatur dalam perjanjian TRIPs dan Deklarasi Doha juga dapat dimanfaatkan. Fleksibilitas ini meliputi mekanisme seperti lisensi wajib, penggunaan paten oleh pemerintah, impor paralel, dan ketentuan bolar.
Mekanisme ini memberikan jalan bagi negara-negara untuk mengakses produk farmasi tanpa melanggar aturan internasional. Contohnya, Indonesia telah memanfaatkan lisensi wajib untuk obat-obatan HIV/AIDS dan hepatitis B. Dalam konteks pandemi Covid-19, langkah ini dapat diterapkan untuk memastikan ketersediaan vaksin dan obat-obatan yang terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada kesepakatan global, tetapi juga pada kapasitas masing-masing negara untuk memproduksi dan mendistribusikan produk farmasi secara efektif. Dengan memanfaatkan TRIPs Waiver dan fleksibilitas paten yang ada, dunia dapat bergerak menuju akses kesehatan yang lebih adil dan merata, sekaligus menjaga keseimbangan antara inovasi dan kebutuhan masyarakat global.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah