Kasus kekerasan seksual semakin meningkat perlu adanya perlakukan serius terhadap lingkungan mahasiswa. Hal ini dijelaskan Rifqi Ridlo Pahlevy SH MH dalam acara Diskusi Publik dengan tema Kontra Permendikbud No. 30 Tahun 2021 yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Pendidikan dan Budaya (PSPB) Direktorat Riset dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DPRM) Univeristas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Selasa (23/11).
Dosen program studi (prodi) hukum menjadi narasumber dalam diskusi tersebut.Rifqi Ridho Phahlevy SH MH menjelaskan tujuan dibentuknya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) dalam menangani kasus kekerasan seksual. “Sebagai pedoman untuk menyusun kerangka pengaturan tentang PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual), untuk menumbuhkan kehidupan yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tegas terhadap kekerasan seksual di perguruan tinggi,” ujarnya.
Tidak hanya itu, eksistensi Permendikbud harus selaras dengan Menteri Pendidikan terhadap kebutuhan internal Perguruan Tinggi (PT) yang memiliki statuta atau kode etik mahasiswa dan dosen. “Umsida sudah masuk dan menjamah apa yang diatur oleh Permendikbud dalam lingkup yang lebih umum,” terangnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan permasalahan instrumen pengaturan di PT tidak layak sehingga Permendikbud perlu meninjau ulang, hal tersebut juga yang harus dijelaskan oleh Kementerian Pendidikan. “Karena di Umsida, sudah disusun kerangka normatif seperti tata tertib dan kode etiknya, pada dasarnya sudah membingkai perlindungan mahasiswa adanya potensi terjadinya kekerasan seksual,” ungkapnya.
Adapun solusi permasalahan instrumen dapat dilihat inisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) PKS yang kemudian di tahun 2019 pembahasan tidak terselesaikan, lalu di tahun 2020 pun sama saja masih belum terselesaikan.
Dosen sekaligus Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) berkeyakinan bahwa di tahun 2021 juga masih belum selesai karena perdebatan menarik tentang prespektif Hak Asasi Manusia (HAM) dengan nilai dasar yang akan diperjuangkan. “Keberadaan Permendikbud ini adalah usaha komnas perempuan yang mendorong kembali percepatan pengesahan RUU PKS, akan tetapi masih belum jelas ujungnya terhadap kekerasan seksual,” ujarnya.
Selanjutnya, definisi kekerasan seksual dalam Permendikbud memiliki ketidakcocokan, karena definisi yang digunakan dalam RUU PKS pada dasarnya menjadi pedebatan, belum selesai digunakan dan diundangkan. Jika RUU PKS masih menjadi undang-undang maka yang terjadi adalah adanya ketidakpastian hukum.
Tidak hanya itu, secara sistemik akan mempengaruhi regulasi dan kebijakan di PT nasional. Jika Permendikbud sudah disahkan maka PT harus sudah menyusun norma atau peraturan untuk
penanggulangan kekerasan seksual. “Dampak instrumen inilah yang menjadi potensi masalah bagi Umsida tentang kekerasan seksual terhadap Permendikbud,” tuturnya.
Yang terakhir, ia berharap, penerbitan Permendikbud anti kekerasan seksual dan pelaksanaannya oleh PT sebaiknya menunggu pengesahan UU PKS. “Pengaturan kekerasan seksual dimensinya adalah pidana, maka pengaturan tentang penegakan hukum harus sejalan dengan prinsip criminal justice system,” harapnya.
“Permendikbud sebagai instrumen hukum administrasi harus mengatur aspek pencegahan dan penegakan dalam konteks hukum administrasi (yang terkait dengan sanksi-sanksi), dan satgas PT yang dibentuk berdasarkan Permendikbud tidak punya kewenangan dalam penyelidikan, penyidikan, dan penjatuhan putusan bersalah bagi terlapor kekerasan seksual,” pungkasnya.
Ditulis : Dewi Kusuma Nada
Edit : Muhammad Asrul Maulana