hukum.umsida.ac.id. – Perkembangan teknologi digital telah mengubah hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk cara berinteraksi, berpendapat, dan menilai suatu perbuatan.
Media sosial menjadi ruang publik baru tempat setiap orang bebas berbicara, menilai, bahkan menghakimi.
Namun, kebebasan ini kerap memunculkan kebingungan mendasar: apakah sesuatu yang dianggap salah secara moral selalu salah secara hukum? Atau sebaliknya, apakah sesuatu yang legal pasti bermoral?
Di era digital, perbedaan antara hukum dan moral sering kali kabur. Banyak perilaku yang menuai kecaman publik di media sosial, tetapi tidak dapat dijerat hukum.
Sebaliknya, ada pula tindakan yang secara hukum melanggar, namun oleh sebagian masyarakat dianggap “biasa saja”. Fenomena ini menimbulkan diskusi penting, khususnya bagi generasi muda dan mahasiswa hukum, tentang batas antara hukum dan moral.
Memahami Hukum dan Moral sebagai Dua Konsep Berbeda
Secara konseptual, hukum dan moral adalah dua sistem norma yang berbeda. Hukum merupakan aturan formal yang dibuat oleh negara, bersifat mengikat, dan memiliki sanksi yang jelas.
Sementara itu, moral adalah seperangkat nilai tentang baik dan buruk yang hidup dalam masyarakat dan bersumber dari hati nurani, agama, serta budaya.
Ahli hukum Hans Kelsen menegaskan bahwa hukum tidak selalu identik dengan moral.
“Hukum adalah sistem norma yang berlaku karena ditetapkan oleh otoritas yang sah, bukan karena ia adil atau bermoral,” ungkapnya.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa hukum bersifat objektif dan formal, sedangkan moral bersifat subjektif dan kontekstual. Perbedaan inilah yang sering menimbulkan konflik penilaian di ruang digital.
Baca juga: Dari Disiplin ke Podium Tertinggi: Mahasiswa Hukum Umsida Raih Gold Medal Taekwondo Jatim Cup
Moral Publik di Media Sosial: Cepat Menghakimi
Media sosial telah melahirkan apa yang disebut sebagai “moral publik digital”. Setiap peristiwa dengan mudah dinilai oleh ribuan orang dalam waktu singkat.
Satu unggahan, video, atau tangkapan layar dapat memicu gelombang kecaman moral tanpa proses klarifikasi yang memadai.
Fenomena ini sering terlihat dalam kasus viral, di mana seseorang dihujat secara massal karena dianggap melanggar norma kesopanan, etika, atau nilai sosial. Padahal, secara hukum, perbuatan tersebut belum tentu melanggar aturan apa pun.
Sosiolog Prof. Damsar menyebut kondisi ini sebagai bentuk kontrol sosial baru.
“Media sosial menciptakan ruang moral kolektif yang bekerja cepat, tetapi sering kali tidak adil karena mengabaikan konteks dan proses,” jelasnya.
Lihat juga: Pemimpin Perempuan Berdaya: Dekan FBHIS Umsida Sabet Outstanding GAD Partners Award
Ketika Sesuatu Tidak Bermoral, Tapi Tidak Ilegal
Di era digital, banyak tindakan yang dianggap tidak bermoral oleh publik, tetapi tidak bisa diproses secara hukum.
Contohnya, gaya hidup berlebihan (flexing), komentar kasar yang tidak memenuhi unsur pidana, atau perselingkuhan yang diumbar di media sosial. Perilaku tersebut menuai kecaman, namun tidak selalu melanggar hukum positif.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum memiliki batas. Hukum tidak mengatur semua aspek kehidupan manusia. Ada wilayah privat dan moral yang tidak bisa diintervensi negara, selama tidak merugikan hak orang lain secara hukum.
Ketika Sesuatu Ilegal, Tapi Dianggap Wajar
Sebaliknya, tidak sedikit perilaku di era digital yang melanggar hukum, tetapi dianggap sepele secara moral. Penyebaran data pribadi, penggunaan konten bajakan, ujaran kebencian terselubung, hingga penyebaran hoaks sering kali dilakukan tanpa rasa bersalah.
Dalam konteks ini, lemahnya kesadaran hukum menjadi persoalan utama. Banyak pengguna media sosial tidak memahami bahwa tindakan mereka memiliki konsekuensi hukum, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan regulasi perlindungan data pribadi.
Konflik Hukum dan Moral dalam Kasus Viral
Konflik antara hukum dan moral paling jelas terlihat dalam kasus-kasus viral. Opini publik sering kali menuntut hukuman berat berdasarkan penilaian moral, sementara proses hukum berjalan lebih lambat dan berbasis bukti.
Kondisi ini memunculkan tekanan terhadap aparat penegak hukum. Jika hukum mengikuti tekanan moral publik, maka asas keadilan dan kepastian hukum terancam.
Namun, jika hukum mengabaikan suara publik, ia dianggap tidak sensitif terhadap rasa keadilan masyarakat.
Di sinilah tantangan besar penegakan hukum di era digital: menjaga keseimbangan antara keadilan hukum dan keadilan moral.
Peran Gen Z dalam Menyikapi Hukum dan Moral
Sebagai generasi yang paling aktif di ruang digital, Gen Z memiliki peran strategis dalam membentuk diskursus hukum dan moral.
Kepekaan moral Gen Z terhadap isu keadilan sosial patut diapresiasi. Namun, kepekaan tersebut perlu diimbangi dengan pemahaman hukum yang memadai.
Mahasiswa hukum, khususnya, dituntut untuk mampu menjelaskan kepada masyarakat bahwa tidak semua yang viral layak dipidana, dan tidak semua yang legal patut dibenarkan secara moral.
Peran edukatif ini menjadi penting agar ruang digital tidak berubah menjadi arena penghakiman massal.
Hukum, Moral, dan Etika Digital
Selain hukum dan moral, terdapat satu aspek penting lain, yaitu etika digital. Etika menjadi jembatan antara hukum yang kaku dan moral yang subjektif.
Etika digital mengajarkan bagaimana bersikap bijak, adil, dan bertanggung jawab dalam menggunakan teknologi.
Menurut filsuf hukum Satjipto Rahardjo, hukum harus berorientasi pada nilai kemanusiaan.
“Hukum yang baik adalah hukum yang mampu menangkap denyut moral masyarakat tanpa kehilangan kepastian dan keadilannya,” ujarnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa hukum dan moral tidak harus dipertentangkan, melainkan perlu diselaraskan melalui pendekatan etis.
Memahami Perbedaan, Menjaga Keseimbangan
Hukum dan moral adalah dua konsep yang berbeda, tetapi saling berkaitan. Di era digital, perbedaan keduanya semakin terasa karena cepatnya arus informasi dan kuatnya opini publik. Moral bekerja di ranah nilai dan hati nurani, sementara hukum bekerja di ranah aturan dan sanksi.
Memahami perbedaan ini penting agar masyarakat, khususnya Gen Z dan mahasiswa hukum, tidak terjebak dalam penghakiman emosional atau pembenaran yang keliru.
Media sosial boleh menjadi ruang ekspresi, tetapi keadilan harus tetap berpijak pada hukum.
Pada akhirnya, tantangan era digital bukan hanya bagaimana menegakkan hukum, tetapi bagaimana membangun masyarakat yang bermoral, beretika, dan sadar hukum.
Dengan keseimbangan tersebut, ruang digital dapat menjadi tempat yang adil, manusiawi, dan bertanggung jawab.
Penulis: Salwa Rizky Awalya

















